Bismillah

Bismillah
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Sabtu, 01 Desember 2012

Khilafiyah Merapatkan Tumit Ketika Sujud




 
Khilafiyah Merapatkan tumit ketika Sujud

Berikut adalah terjemahan dari sebagian tulisan berharga karya yang mulia Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid yang lengkapnya beliau beri judul “ la jadida fi ahkamish sholat ( tidak ada yang baru dalam hukum – hukum sholat ) ” selamat merenungi semoga Alloh memberikan hidayahNya kepada kita semua .

Permasalahan ini diberi judul demikian dan juga “ merapatkan kedua tumit diwaktu sujud ” atau “ mengumpulkan kedua tumit ” atau “ mengumpulkan kedua telapak kaki ”.

Aku berusaha untuk meneliti dibeberapa kitab yang dikenal dari kitab – kitab fikih empat madzhab tentang tata cara posisi kedua telapak kaki diwaktu sujud yaitu berupa disatukan ataukah direnggangkan, namun hal tersebut tidaklah aku dapati dikitab – kitab madzhab Hanafiyyah ataupun Malikiyyah akan tetapi aku dapati dikitab – kitab madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah akan disunnahkannya merenggangkan kedua telapak kaki bahkan Syafi’iyyah menambahkan : direnggangkan selebar satu jengkal.

Berkata an Nawawiy rahimahulloh ta’ala dalam kitabnya ar Raudhoh ( 1 / 259 ) : “ aku nyatakan bahwa kawan – kawan kami semadzhab mereka mengatakan : dan disunnahkan untuk merenggangkan kedua telapak kaki. Berkata Qodhi Abut Thoyyib : kawan – kawan kami semadzhab menyatakan : yaitu antara keduanya berjarak satu jengkal ”_selesai. Berkata asy Syirozy dalam kitabnya al Muhadzdzab : “ dan merenggangkan kedua telapak kakinya berdasar apa yang diriwayatkan oleh Abu Humaid dst ”. an Nawawiy menyebutkan dalam kitabnya al Majmu’ ( 3 / 373 ) pernyataan senada dengan ucapannya dalam kitabnya ar Roudhoh. Sedangkan dalam madzhab Hanabilah maka berkata al Burhan Ibnu Muflih ( wafat th. 884 ) rahimahulloh dalam kitabnya al Mubdi’ ( 1 / 453 ) : “ dan merenggangkan kedua lututnya serta kedua telapak kakinya dengan alasan bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam jika beliau sujud maka beliau merenggangkan kedua pahanya, namun Ibnu Tamim dan yang lain menyatakan bahwa disatukan kedua tumitnya ”_selesai.

Disimpulkan dari ini semua bahwa tidak ada disebut sedikitpun dalam empat madzhab menyatukan kedua telapak kaki diwaktu sujud namun paling maksimalnya dalam hal ini adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Muflih al Hanbaliy dari Ibnu Tamim dan yang lainnya bahwa kedua tumit adalah disatukan .

Akupun telah meneliti dalam kitab – kitab yang menyebutkan riwayat dalam madzhab Imam Ahmad namun aku tidak menemukan adanya sebuah riwayat dari pendapat imam Ahmad bahkan al Mardawiy didalam kitabnya al Inshof tidak menoleh sama sekali terhadap pendapat Ibnu Tamim ini, sementara yang menjadi ketetapan dalam madzhab Hanabilah adalah merenggangkan kedua telapak kaki diikutkan kepada sunnahnya merenggangkan kedua lutut dan kedua paha. Maka apa yang disebutkan oleh Ibnu Tamim adalah cabang masalah yang ganjil yang tidak disebut dalam riwayat dari Imam Ahmad terlebih lagi beliau tidak menyebutkan pendahulu beliau dalam pendapatnya ini sehingga hal ini tidak mungkin untuk dijadikan cabang masalah yang ditakhrij dalam madzhab, tinggallah permasalahannya sekarang adalah kita tidak mengetahui dari mana Ibnu Tamim dan yang lainnya tersebut mendatangkan pendapatnya tersebut ? menyelisihi beliau adalah perkara yang mudah sebab sunnahlah yang menjadi timbangan dan kepada sunnahlah tempat merujuk .

Apabila Ibnu Tamim dan yang lainnya yang tidak disebutkan namanya tadi adalah orang yang menyendiri dengan pendapat tersebut dari madzhab yang empat maka Imamul Aimmah Ibnu Khuzaimah beliau adalah orang yang menyendiri dari kalangan para muhaddits sepanjang telaah kami dengan memberikan judul dalam kitabnya as Shohih ( 1 / 328 ) : “ bab menyatukan kedua tumit diwaktu sujud ” kemudian beliau memaparkan lengkap dengan sanadnya sesudah judul diatas hadis Aisyah istri Nabi bahwa beliau rodhiyallohu anha berkata :


Artinya : (( aku merasa kehilangan Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam yang tengah tidur bersamaku maka aku dapatkan ternyata beliau sedang dalam keadaan sujud menyatukan kedua tumitnya dengan jari – jari telapak kaki yang menghadap kekiblat dan aku mendengar beliau mengucap doa dst )) al hadits .

Berangkat dari ini muncul sebagian orang dizaman ini yang menempatkan riwayat ini kedalam bilangan hadis yang shohih serta menetapkannya sebagai sunnah amaliyyah diantara sunnah – sunnah sujud. Hal ini tentulah menuntut untuk diadakannya penelitian serius terhadap hadis ini serta terhadap lafadz tambahan yang ada didalamnya yaitu (( menyatukan kedua tumit beliau )).

Maka aku katakan : sumber asal hadis ini adalah dalam shohih Muslim ( 1 / 352 ) dengan sanadnya dari Ubaidullah bin Umar al Umariy dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari al A’roj dari Abu Hurairoh dari Aisyah berkata :

Artinya : (( aku merasa kehilangan Rasululloh disuatu malam dari ranjangku maka aku beruasaha mencari beliau dan tiba – tiba kedua telapak tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau sementara beliau dalam keadaan sujud, kedua telapak kaki itu sedang tegak berdiri sedang beliau mengucapkan doa : Ya Alloh aku berlindung dengan keridhoanMu dari kemurkaanMu dst )) al hadis .

Diriwayatkan oleh Ahmad ( 6 / 58 dan 201 ) Abu Daud ( 1 / 547 ) Nasa’iy ( 1 / 102 ) Daruquthniy ( 1 / 143 ) Ibnu Abdul Bar dalam at Tamhid ( 23 / 349 ). Hadis ini juga memiliki jalan sanad lain yaitu dari Yahya bin Sa’id al Anshoriy dari Muhammad bin Ibrahim at Taiymi dari Aisyah radhiyallohu anha berkata :

Artinya : (( suatu kali aku tidur disamping Rasululloh sholallohu ‘alaihis salam maka pada sebuah malam aku merasa kehilangan beliau sehingga aku berusaha mencari beliau dengan tanganku dan tiba – tiba tanganku aku letakkan pada kedua telapak kaki beliau sementara beliau dalam keadaan sujud seraya berucap doa dst )) al hadis.

Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatho’ ( 1 / 214 ) Tirmidzy ( 5 / 489 ) Nasa’iy ( 2 / 222 ) Thohawiy dalam Syarah Ma’aniy al Atsar ( 1 / 234 ) Baghowiy dalam Syarhus Sunnah ( 5 / 166 ) .

Inilah secara global apa yang shohih dalam riwayat hadis Aisyah rodhiyallohu anha, lafadz ini dalam shohih Muslim dan lainnya adalah berbunyi (( maka tiba – tiba kedua tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau )) sedang dalam riwayat Malik berbunyi (( maka tiba – tiba tanganku kuletakkan pada kedua telapak kaki beliau )) dalam kesemua itu sepanjang pengetahuanku tidak terdapati seorangpun yang memberikan judul sebagai dalil atas disatukannya kedua telapak kaki orang yang sujud. Hal ini tiada lain adalah dikarenakan bahwa menyentuhnya tangan atau diletakkannya tangan pada kedua telapak kaki tidaklah mengharuskan dari hal tersebut bersatunya kedua telapak kaki sementara sunnah – sunnah itu tidaklah diambil dari pemahaman semisal demikian ini, terlebih lagi sunnah amaliyah dalam syiar terbesar dalam Islam yang dzohiroh _wallohu a’lam .

Yang tersisa sekarang adalah sebuah lafadz dalam hadis Aisyah diatas yang berbunyi (( maka aku dapati beliau sedang sujud dalam keadaan menyatukan kedua tumit )) yang lafadz ini merupakan teks yang tegas didalam permasalahan orang yang sujud menyatukakan kedua tumit . Namun, bagaimanakah derajat lafadz ini ? dan apakah ia dari jalan rowi yang disebut dalam riwayat Muslim dan selainnya ? ataukah dari jalan lain ?

Maka aku nyatakan bahwa hadis dengan lafadz yang berbunyi demikian adalah bersumber dari jalan lain yang ditakhrij oleh Ibnu Khuzaimah ( 653 ) dengan diberi judul ( bab, menyatukan kedua tumit dalam sujud ) kemudian dari jalan beliau hadis ini ditakhrij oleh Ibnu Hibban ( 1933 ) Thohawiy dalam Syarh Ma’ani al Atsar ( 1 / 234 ) juga dalam Syarh Musykilil Atsar ( 111 ) Hakim dalam Mustadrok ( 1 / 228 ) Baihaqiy dalam Kubro ( 2 / 116 ) dan Ibnu Abdul Bar dalam Tamhid ( 23 / 348 ) namun tidak satupun dari ulama yang disebut diatas yang memberikan judul pada point inti dipembahasan ini.

Sanad lafadz ini disisi para ulama tersebut seluruhnya adalah dari jalannya Sa’id bin Abi Maryam berkata telah memberitakan kepada kami Yahya bin Ayyub berkata telah menceritakan kepadaku Umaroh bin Ghoziyah berkata aku telah mendengar Abu Nadhr berkata aku mendengar Urwah berkata bahwa Aisyah berkata :


Artinya : (( aku merasa kehilangan Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam yang ketika berada diranjangku maka tiba – tiba aku dapati beliau sedang bersujud dalam keadaan menyatukan kedua tumit dengan menghadapkan jemari kaki beliau kearah kiblat dan aku mendengar beliau berucap doa dst )) al hadis .

Berkata Hakim usai membawakan hadis dengan lafadz ini : “ ini adalah hadis shohih yang sesuai dengan syarat dua syaikh yaitu Bukhori – Muslim namun keduanya tidaklah mentakhrijnya dengan lafadz ini terlebih aku tidaklah mengetahui adanya seseorang yang menyebut disatukannya kedua tumit dalam sujud kecuali apa yang ada dalam hadis ini ”_selesai. Ucapan beliau disetujui oleh Dzahabiy dalam Talkhish namun persetujuan ini merupakan sesuatu yang ganjil dari Dzahabiy rohimahulloh dimana beliau telah mencacat beberapa hadis lain sebab Yahya bin Ayyub dalam kitab Talkhish lil Mustadrok sebagaimana dalam ( 2 / 201, 3 / 97, 4 / 44 & 243 ) .

Yahya bin Ayyub rohimahulloh meskipun beliau seorang rowi yang ditakhrij oleh jama’ah ( yaitu imam penyusun enam kitab hadis induk ) kecuali Bukhori yang tidak lain beliau hanya mentakhrijnya dalam barisan pendukung bukan utama namun komentar para hafidz tentangnya adalah berbeda – beda dengan persilangan perbedaan yang banyak antara yang menghukuminya sebagai rowi tsiqqoh, yang menghukuminya rowi cacat atau yang menghukuminya secara pertengahan. Hal ini disebabkan ditemukannya keganjilan – keganjilan dalam hadis beliau juga riwayat – riwayat yang mungkar sehingga riwayat beliau mesti disikapi hati – hati .[1]

Diantara komentar yang aku rasa paling adil tentang kedudukan beliau adalah komentar Imam Ahmad rohimahulloh dimana beliau sebagaimana dinukil dalam kitab Du’afa’ karya Uqailiy ( 211 ) berkata : “ Ahmad bin Muhammad berkata bahwa aku mendengar Abu Abdillah yaitu Imam Ahmad berkata saat disebut nama Yahya bin Ayyub al Mishriy : beliau termasuk menyebarkan hadis dengan berpegang pada hapalannya. Maka akupun menyebutkan kepada Imam Ahmad diantara hadisnya yaitu Yahya bin Ayyub dari Amroh dari Aisyah bahwa Nabi sholallohu ‘alai wasallam membaca dalam witir beliau, maka tiba – tiba Imam Ahmad berkomentar : hah ! siapa yang membawa hadis ini ? ”_selesai.

Kesimpulan : bahwa hadis Aisyah rodhiyallohu anha asalnya shohih ada dalam shohih Muslim dan lainnya namun tidak terdapati dalam lafadz yang shohih disisi Muslim dan yang bersamanya : disatukannya kedua tumit diwaktu sujud, tidak pula ia disebut – sebut dalam hadis – hadis sahabat yang panjang lagi terkenal yang memberitakan secara rinci tata cara sholat Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sementara mereka telah menyebut pengarahan jemari kaki kearah kiblat serta disatukannya jemari tangan diwaktu sujud beliau sholallohu ‘alaihi wasallam .

Kemudian bahwa lafadz tambahan yang berbunyi (( dalam keadaan beliau menyatukan kedua tumit dalam sujud )) adalah syadzah ( keliru ) dimana Ibnu Khuzaimah telah menyendiri didalam mentakhrijnya dan diikuti oleh ulama yang meriwayatka hadis ini dari jalan beliau yaitu Ibnu Hibban berikut orang – orang sesudahnya dan bahwa keadaan yang sebenarnya adalah sesuai apa yang dinyatakan oleh Hakim yaitu “ aku tidak mengetahui ada seorangpun yang menyebut disatukannya kedua tumit dalam sujud kecuali apa yang ada dalam riwayat ini ”_selesai .

Ini merupakan kesimpulan hasil pengkajian yang memberikan faedah akan kelirunya lafadz tambahan ini, kemudian bahwa judul yang diberikan Ibnu Khuzaimah terhadap riwayat ini ( bab, disatukannya kedua tumit dalam sujud ) beliau maksudkan adalah fikih dari riwayat ini yang beliau paparkan dengan sanadnya tanpa menoleh kepada shohih dan tidakknya riwayat tersebut, bukan maksud beliau adalah semata akan shohihnya riwayat tersebut . hal demikian ini banyak ditemukan dalam judul – judul yang beliau berikan, maka renugkanlah ! diantara buktinya adalah apa yang telah lewat sebelumnya tentang judul yang beliau berikan terhadap riwayat bersanad akan disatukannya kedua paha dalam sujud dan telah disimpulkan akan kelirunya riwayat tersebut maka demikian pula riwayat disatukannya kedua paha disini .

Kesimpulan yang lain bahwa disatukannya kedua telapak kaki dalam sujud tidaklah dikenali padanya terdapati atsar dari para salaf baik kalangan sahabat maupun sesudah mereka, tidak pula bisa sampai dengan sempurna penelitian tafri’ dari seorang ahli fikihpun yang menyinggung disyari’atkannya penyatuan kedua telapak kaki diwaktu sujud kecuali apa yang disebut oleh Ibnu Tamim berikut orang yang tak disebut namanya dari kalangan Hanabilah, boleh jadi itu merupakan kekeliruan pemahaman .

Jadi yang tersisa untuk dinyatakan dikesempatan ini adalah bahwa yang disyari’atkan bagi orang yang sujud adalah merenggangkan kedua telapak kakinya sebagai wujud pengembalian kepada posisi asal diwaktu berdiri dalam sholat. Berkata al Murdawiy dalam kitabnya Inshof ( 2 / 69 ) : “ beberapa faedah diantaranya ; disunnahkan untuk merenggangkan kedua kaki diwaktu berdiri … dan dinyatakan dalam kitab al Mustau’ib : makruh menyatukan kedua mata kakinya ”_selesai .

Tiada lain pula karena sunnah dalam sujud adalah seimbang dalam tata cara, dalam kerenggangan, dalam mengarah dan dalam anggota sujud yang diantaranya adalah direnggangkannya kedua lutut, kedua paha dan kedua telapak kaki yang keduanya mengikuti kedua paha sehingga sunnah pada kedua telapak kakipun demikian.

Maka ditetapkan dengan ini bahwa sunnah kedua telapak kaki diwaktu sujud adalah direnggangkan secara seimbang menyesuaikan sifat badan tanpa berlebihan dalam perenggangan tanpa pula kasar dalam penyatuan, demikianlah Kami jadikan kalian umat yang adil. Wallohu a’lam .[2]

والله أعلم وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وسلم والحمد لله .



[1] Kami tambahkan disini bahwa syaikh al Albaniy menyebut Yahya bin Ayyub ini pada dua tempat dalam masalah sujud dalam kitab beliau yang sangat berharga yaitu Ashlu Shifati Sholat, pada tempat pertama dalam masalah menyatukan kedua telapak kaki dalam sujud maka beliau tidak mencacat Yahya bin Ayyub namun dalam tempat kedua yaitu pada masalah doa – doa sujud maka beliau mengomentari Yahya bin Ayyub ini dengan komentar yang berdampak pada lemahnya riwayat beliau padahal kedua masalah tersebut berporos pada satu hadis, maka hendaknya anda jeli dalam hal ini !_pent.


[2] Faedah : pernah suatu kesempatan ustadz kami al ustadz Dzulqornain dalam sebagian durus ditanya tentang menyatukan kedua telapak kaki diwaktu sujud ? maka beliau menjawab : “ hadis dalam masalah ini ada kelemahan padanya ”_pent.

Bahaya A'in Tanpa Sengaja dan Penangkalnya




Syaikh Ibnu Jibrin


Pertanyaan: Apakah benar bahwa seseorang menimpakan ‘ain dengan tanpa sengaja, dan bagaimana mengatasinya?

Jawaban:
'Ain itu nyata, sebagaimana yang disinyalir dalam hadits. Sebab, ‘ain mengagumi sesuatu yang dilihatnya, baik manusia, hewan, maupun harta benda. Lalu jiwanya yang jahat dan dengki membayangkan berbagai hal tersebut tertimpa kemudaratan, lantas terlontarlah darinya butir-butir racun yang mempengaruhi apa dan siapa yang dipandangnya, dengan seizin Allah yang bersifat kauni, bukan syar'i.

'Ain bisa menimpa seseorang dengan tanpa disengaja. Ia bisa menimpa anaknya, isterinya, kendaraannya dan sejenisnya. Cara menyembuhkannya ialah meminta orang yang menimpakan 'ain berdoa dengan mengucapkan, "Ma sya allahu la quwwata illa billah." Demikian pula ia mencuci sebagian anggota badannya dan mengguyurkannya kepada orang yang terkena ‘ain tersebut.
 
Rujukan: Fatwa Syaikh Abdullah bin Jibrin yang ditandatanganinya. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3, penerbit Darul Haq.

Kapan dan Bagaimana alQuran diturunkan






Kapan dan Bagaimana Alquran Diturunkan 


Di antara keistimewaan bulan Ramadhan adalah di mana Allah telah memuliakannya berbanding dengan bulan-bulan yang lain dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya al-Qur’an al-‘Azhim. Keistimewaan ini diberikan oleh Allah kepada bulan Ramadhan sebagaimana dinyatakan melalui firman-Nya (maksudnya),
“…Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan menjadi pembeza (di antara yang hak dengan yang bathil).” (Surah al-Baqarah, 2: 185)
Begitu juga sebagaimana dinyatakan di dalam hadis Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahawa bulan ramadhan merupakan bulan di mana Kitab-kitab Ilaahiyah diturunkan kepada para Nabi ‘alaihimus Salaam.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah meriwayatkan dari Watsilah bin al-Asqa’, bahawa Rasulullah bersabda (maksudnya),
“Shuhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada tanggal enam (6) Ramadhan, Injil diturunkan pada tanggal tiga belas (13) Ramadhan, dan al-Qur’an diturunkan pada tanggal dua puluh empat (24) Ramadhan.” (Hadis Riwayat Ahmad dan turut dikeluarkan oleh ath-Thabrani. Menurut Syaikh al-Albani di dalam Shahiihul Jaami’ hadis ini hasan (1497). Lihat juga Tafsir Ibnu Katsir di bawah penafsiran 2: 185)
Melalui hadis ini juga diperjelaskan kepada kita bahawa al-Qur’an mula diturunkan pada hari ke dua puluh empat (24) di bulan Ramadhan.
Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasul kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam demi untuk membimbing manusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan tinggi kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi. Turunnya al-Qur’an pertama kali jatuh pada lailatul Qadr (malam al-Qadr) yang mana merupakan pemberitahuan kepada alam samawi yang dihuni oleh para malaikat berkaitan kemuliaan umat Muhammad. Di mana umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah barunya agar menjadi umat yang paling baik yang dikeluarkan bagi manusia. Turunnya al-Qur’an yang seterusnya secara beransur-ansur, berbeza dengan kitab-kitab yang turun sebelumnya, sangat mengejutkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi mereka rahsia hikmah Ilahi yang ada di balik itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menerima risalah besar ini dengan cara sekaligus, dan kaumnya yang sombong dan berhati keras turut dapat ditawan (dilunakkan) dengannya. Antara hikmah wahyu ini turun secara beransur-angsur adalah demi menguatkan hati Rasul dan menghiburnya relevan dengan peristiwa dan kejadian-kejadian yang mengiringinya sehingga Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat-Nya.
Turunnya al-Qur’an Dengan Sekaligus
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melalui kitab-Nya yang mulia (maksudnya),
“…Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan menjadi pembeza (di antara yang hak dengan yang bathil).” (Surah al-Baqarah, 2: 185)
Dan firman-Nya,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan (malam al-Qadr).” (Surah al-Qadr, 97: 1)
Juga,
“Dan al-Qur’an telah Kami turunkan dengan beransur-ansur agar kamu membacakannya perlahan-perlahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bahagian demi bahagian.” (Surah al-Isra’, 17: 106)
Ayat-ayat di atas tidaklah saling bertentangan, kerana malam yang diberkahi dalam bulan Ramadhan itu adalah Lailatul Qadr. Jadi, di sini dapat difahami bahawa al-Qur’an diturunkan ketika malam al-Qadr iaitu di dalam bulan Ramadhan. Tetapi zahir ayat-ayat itu yang bertentangan dengan situasi kehidupan Rasulullah, di mana al-Qur’an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun. Dalam perkara ini, para ulama terbahagi kepada dua mazhab (pendapat) utama:
1 – Mazhab (pendapat) Yang Pertama,

Pendapat Ibnu Abbas dan sejumlah ulama, kemudian dipegang oleh jumhur ulama, bahawa “Yang dimaksudkan dengan turunnya al-Qur’an dalam ayat-ayat di atas ialah turunnya al-Qur’an secara sekaligus ke Baitul ‘Izzah di langit dunia untuk menunjukkan kepada para malaikat-Nya bahawa betapa agongnya persoalan ini. Selanjutnya al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam secara beransur-ansur selama dua puluh tiga tahun bersesuaian dengan peristiwa-peristiwa yang mengiringinya bermula dari beliau diutus sehinggalah wafatnya. Selama tiga belas tahun beliau tinggal di Makkah, dan selama itu jugalah wahyu turun kepadanya. Selepas hijrah, beliau tinggal di Madinah selama sepuluh tahun. Beliau wafat dalam usia enam puluh tiga tahun.” Pendapat ini adalah berdasarkan kepada riwayat-riwayat yang sahih dari Ibnu Abbas. Di antara riwayat-riwayat yang dimaksudkan adalah,
i – Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada lailatul Qadr (malam al-Qadr). Kemudian setelah itu, ia diturunkan selama dua puluh tahun.” (Hadis Riwayat al-Hakim, al-Baihaqi, dan an-Nasa’i) kemudiannya dia membacakan;
“Dan mereka (orang-orang kafir) tidak membawa kepadamu sesuatu kata-kata yang ganjil (untuk menentangmu), melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan sebaik-baik penjelasan.” (Surah al-Furqon, 25: 33)
“Dan al-Qur’an telah Kami turunkan dengan beransur-ansur agar kamu membacakannya perlahan-perlahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bahagian demi bahagian.” (Surah al-Isra’, 17: 106)
ii – Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Al-Qur’an itu dipisahkan dari adz-Dzikr, lalu diletakkan di Baitul ‘Izzah di langit dunia. Maka Jibril mula menurunkannya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. (Hadis Riwayat al-Hakim)
iii – Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Allah menurunkan al-Qur’an sekaligus ke langit dunia, pusat turunnya al-Qur’an secara beransur-ansur. Lalu, Allah menurunkannya kepada Rasul-Nya bahagian demi bahagian.” (Hadis Riwayat al-Hakim & al-Baihaqi)
iv – Menurut Ibnu Abbas, “al-Qur’an diturunkan pada lailatul Qadr (malam al-Qadr) pada bulan Ramadhan ke langit dunia secara sekaligus; lalu ia diturunkan secara berangsur-angsur.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani)
2 – Mazhab (pendapat) Yang Kedua,
Iaitu yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi (seorang Tabi’in besar, wafat 109H) bahawa yang dimaksudkan dengan turunnya al-Qur’an dalam ayat-ayat di atas ialah permulaan turunnya al-Qur’an itu bermula pada lailatul Qadr (malam al-Qadr) di bulan Ramadhan, yang merupakan malam yang diberkahi (malam kemuliaan). Kemudian selepas itu ia diturunkan secara beransur-ansur bersesuai dengan kepalbagaian peristiwa yang mengiringinya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dengan yang demikian, al-Qur’an diturunkan hanya dengan satu cara sahaja, iaitu turun secara beransur-ansur kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan yang demikian inilah yang dinyatakan di dalam al-Qur’an,
“Dan al-Qur’an telah Kami turunkan dengan beransur-ansur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bahagian demi bahagian.” (Surah al-Isra’, 17: 106)
Orang-orang musyrik yang diberi tahu bahawa kitab-kitab samawi terdahulu turun sekaligus, menginginkan al-Qur’an juga turut diturunkan dengan sekaligus,
“Dan orang-orang yang kafir berkata: “Mengapa tidak diturunkan al-Q ur’an itu kepada Muhammad semuanya secara sekaligus?” al-Qur’an diturunkan dengan cara (beransur-ansur) itu kerana Kami hendak menetapkan (meneguhkan) hatimu (wahai Muhammad) dengannya, dan Kami nyatakan bacaannya kepadamu dengan teratur satu persatu. Dan mereka tidak membawa kepadamu sesuatu kata-kata yang ganjil (untuk menentangmu) melainkan Kami bawakan kepadamu kebenaran dan penjelasan yang sebaik-baiknya (untuk menangkis segala yang mereka katakan itu).” (Surah Al-Furqan, 25: 32-33)
Keistimewaan bulan Ramadhan dan lailatul Qadr yang merupakan malam yang diberkahi itu tidak akan tampak (dilihat) oleh manusia kecuali yang dimaksudkan oleh ayat- ayat di atas, iaitu turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah. Yang demikian ini bersesuaian dengan apa yang terdapat di dalam firman Allah mengenai perang badar,
“…Dan (beriman kepada) apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Surah al-Anfal, 8: 41)
Perang Badar terjadi dalam bulan Ramadhan. Perkara ini diperkuatkan pula oleh hadis yang dijadikan pegangan para peneliti dan pengkaji, tentang hadis awal turunnya wahyu. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
“Wahyu yang mula-mula diturunkan kepada Rasulullah, ialah mimpi yang benar di waktu tidur. Setiap kali bermimpi, dia melihat apa yang datang bagaikan cahaya terang di pagi hari. Kemudian dia lebih suka menyendiri. Dia pergi ke Gua Hira’ untuk bertahannuts beberapa malam dan untuk itu dia membawa bekal. Kemudian kembali ke rumah Khadijah Radhiyallahu ‘anhu sehingga datanglah kebenaran kepadanya sewaktu berada di Gua Hira’. Malaikat datang kepadanya dan berkata; “Bacalah”. Muhammad berkata; “Aku tidak tahu membaca”. Lalu dia memegang dan merangkulku sehingga aku sesak nafas, kemudian dia melepaskan aku, lalu berkata lagi; “Bacalah”. Aku menjawab, “Aku tidak tahu membaca”. Lalu dia merangkulku untuk yang kedua kalinya sehingga aku sesak nafas, lalu dia melepaskan aku, lalu berkata, “Bacalah”. Aku menjawab, “Aku tidak tahu membaca”. Lalu dia merangkulku untuk ketiga kalinya sehingga aku merasa kepayahan, kemudian dia melepaskan aku, lalu katanya; “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan, sehingga dengan apa yang belum diketahuinya”.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
Para peneliti menjelaskan bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada mulanya diberi tahu dengan mimpi pada bulan kelahirannya, iaitu bulan Rabi’ul Awwal. Masanya enam bulan. Kemudian ia diberi wahyu dalarn keadaan sedar (jaga) pada bulan Ramadhan dengan turunnya Iqra’ (dari surah al-Alaq). Dengan demikian, maka nash-nash yang terdahulu itu menunjukkan kepada satu pengertian.
3 – Mazhab (pendapat) Yang Ketiga,
Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia pada dua puIuh tiga malam kemuliaan (Lailatul Qadr), yang pada setiap malamnya selama malam-malam kemuliaan itu ada yang ditentukan Allah untuk diturunkan pada setiap tahunnya. Dan jumlah untuk masa satu tahun penuh itu kemudian diturunkan secara beransur-ansur kepada Rasulullah sepanjang tahun. Madzhab ini adalah hasil ijtihad sebagian mufassirin. Pendapat ini tidak mempunyai dalil.
Adapun madzhab kedua yang diriwayatkan dari asy-Sya’bi, dengan dalil-dalil yang sahih dan dapat diterima, tidaklah bertentangan dengan mazhab (pendapat) yang pertama yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Pendapat yang kuat ialah: al-Qur’an al-Karim itu diturunkan melalui dua fasa,
Fasa Pertama: Diturunkan sekaligus pada malam al-Qadr (Lailatul Qadr) di bulan Ramadhan ke Baitul ‘Izzah di langit dunia.
Fasa Kedua: Diturunkan dari langit dunia ke bumi secara beransur-ansur selama dua puluh tiga tahun.
Imam al-Qurthubi rahimahullah menukilkan riwayat dari Muqaatil bin Hayyan berkenaan adanya ijma’ tentang turunnva al-Quran sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Ibnu Abbas menafikan adanya percanggahan di antara ketiga ayat di atas berkenaan dengan turunnva al-Qur’an dan fakta kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Al-Qur’an itu sememangnya turun selama dua puluh tiga tahun di bulan-bulan selain Ramadhan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia pernah ditanya oleb Athiyah bin al-Aswad, katanya, “Dalam hatiku terjadi keraguan berkenaan firman Allah, “Bulan Ramadhan itu ialah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an”, dan firman Allah, “Sesungguhnya Kami rnenurunkannya pad lailatul Qadr”. Padahal al-Qur’an itu ada yang diturunkan pada bulan Syawwal, Dzulqa’edah, Dzuihijjah, Muharram, Shafar dan Rabi’ui Awwal.” lbnu Abbas menjawab, “Al-Qur’an ditununkan pada lailatul Qadr sekaligus, kemudian diturunkan secara beransur-ansur, sedikit demi sedikit dan terpisah-pisah serta perlahan-lahan di sepanjang bulan dan hari.” (Hadis Riwayat Ibnu Mardawaih dan al-Baihaqi dalam Kitab al-Asma’ wa ash-Shifat)
Para ulama mengisyaratkan berkenaan beberapa hikmah terhadap fenomena penurunan al-Qur’an di antaranya adalah demi menyatakan kebesaran al-Qur’an dan kemuliaan orang yang kepadanya al-Quran diturunkan. Kata Imam as-Suyuthi, “Dikatakan bahawa rahsia diturunkannya al-Qur’an dengan sekaligus ke langit dunia adalah untuk memuliakannya dan memuliakan (kelompok) yang kepadanya al-Qur’an diturunkan; memberitahukan kepada penghuni tujuh langit bahawa al-Qur’an adalah kitab terakhir yang diturunkan kepada Rasul terakhir demi kemulian umat manusia. Kitab tersebut kini telah di ambang pintu dan akan segera diturunkan kepada mereka. Seandainya tidak ada hikmah Ilahi yang menghendaki disampaikan al-Qur’an kepada mereka secara beransur-ansur bersesuaian dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, tentulah ia diturunkan ke bumi sekaligus seperti halnya kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Tetapi Allah membezakannya dari kitab-kitab yang sebelumnya. Maka dijadikanlah dua ciri tersendiri; diturunkan secara sekaligus, kemudian diturunkan secara bertahap-tahap demi untuk menghormati orang yang menerimanya.”
As-Sakhawi mengatakan dalam Jamal al-Qurra’, “Turunnya al-Qur’an ke langit dunia sekaligus itu menunjukkan suatu penghormatan kepada keturunan Adam di hadapan para malaikat serta pemberitahuan kepada mereka betapa perhatian Allah dan rahmat-Nya kepada manusia. Dalam pengertian inilah Allah memerintahkan tujuh puluh ribu malaikat untuk mengawal surat al-An’am,
Ibnu Abbas menyatakan, “Surah al-An’am itu turun di Makkah sekaligus di waktu malam. Ia diiringi oleh tujuh puluh ribu malaikat yang bertasbih.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan Abu Ubaid dalam Fadha’il al-Qur’an))
dan dalam pengertian ini pula Allah memerintahkan Jibril agar memerintahkan kepada para malaikat pencatat yang mulia, menuliskan dan membacakannya kepadanya.” (Lihat juga, al-Itqan, 1/40, 41)
4 – Mazhab (pendapat) Keempat,
Ada juga sebahagian ulama yang berpandangan bahawa al-Qur’an turun pertama-tama kalinya secara berangsur-ansur ke Lauh Mahfuzh berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Tidak lain ia adalah al-Qur’an yang mulia, di Lauh Mahfuth.” … Kemudian setelah itu ia turun dari Lauh Mahfuz secara serentak seperti itu ke Baitul ‘Izzah. Selanjutnya, ia turun sedikit demi sedikit. Dengan demikian, ini bererti ia turun melalui tiga tahap (fasa).
Dan perkara ini tidaklah bertentangan dengan yang sebelumnya yang telah ditarjihkan. Bagairnanapun juga al-Qur’an al-Karim sudah ada dalarn Lauh Mahfuzh meliputi semua urusan ghaib yang sudah ditetapkan di dalamnya. Dan al-Qur’an turun sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah dari langit dunia (sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas) pada lailatul Qadr, malam yang penuh berkah di bulan Ramadhan. Ini adalah kerana tidak ada yang menghalangi turunnya al-Qur’an secara sekaligus, bermula dari turunnya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam secara beransur-ansur dalam satu malam. Dengan demikian, tidak ada pertentangan di antara kepelbagaian pendapat ini jika dikecualikan mazhab ketiga yang tidak ada dalilnya.