Bismillah

Bismillah
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Senin, 09 Juli 2012

Antara Khilafiyah dan Bid'ah dalam Fiqih Shalat

Khilafiah dan bid’ah dalam fiqih shalat

Islam adalah agama yang sudah sempurna sehingga setiap amalan yang ada didalam ajarannya tidak akan terlepas dari apa yang telah Rosulullah kabarkan dalam hadits sahihnya sehingga sangat tidak layak bagi kita sebagai manusia biasa untuk menambah-nambahkan amalan terhadap ajaran yang sudah di klaim sempurna oleh sang pencipta manusia Allah Ta’ala ini.
Firman Allah Ta’ala :

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al Ma’idah : 3)

Menanggapi ayat diatas maka Imam Malik Rahimahullah berkata :
Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beserta para shahabatnya masih hidup dan hari dimana ayat diatas turun) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama.” (Al-I’tisham I/49)

Akan tetapi banyak sekali dari beberapa saudara-saudara kita yang telah mengenal tentang ajaran islam yang mulia dan sempurna ini tetap mencari-cari kelemahan agar dapat memasukan ajaran-ajaran barunya yang tentu saja dianggap baik atau dianggap mampu dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala sehingga terjerumus kedalam apa yang dianggap perkara baru dalam hal syariat agama (Bid’ah) (Perlu diketahui disini hal yang baru tsb hanya terbatas pada ibadah saja – pen)

Padahal hukum dari hal-hal yang baru tsb sudah di kabari dan diwanti-wanti  oleh Rosulullah didalam beberapa sabdanya yang terkenal dan sering diucapkan oleh saudara-saudara kita  dari para ulama-ulama yang memakai pemahaman beragamanya sesuai dengan pemahaman para sahabat Rosulullah didalam muqadimah khutbah nya sbb :

“Sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah Kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu ‘alahi wasallam dan seburuk-buruknya perkara yang diada-adakan dan setiap perkara yang diadaadakan adalah bid’ah dan setiap  bid’ah adalah sesat” [HR Muslim no. 2042, Ibnu Majah No. 47]

Telah disabdakan secara gamblang oleh Rosulullah diatas bahwa hukum dari bid’ah itu sendiri adalah haram dan oleh karena itu pelakunya pun terancam akan masuk neraka,disamping itu bila sebua amalan tanpa dilandasi dalil dan keterangan yang sahih dari Rosulullah maka tentu saja amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala  atau tertolak sebagaimana sabda beliau Salallahu alaihi wasallam sebagai berikut :

Barangsiapa mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama) kami ini, maka hal itu tertolak.” (Hadits Riwayat Bukhari (hadits no. 2550) dan Muslim (hadits no. 1718)

Oleh karena itu maka hendaknya setiap muslim yang beriman agar senantiasa beribadah sesuai dengan dua syarat yang sudah ditentukan yaitu  hanya dengan Ikhlas kepada Allah Ta’ala dan tentu saja hanya dengan mencontoh (‘Itiba) Rosulullah yang didasari dari hadits-hadits yang telah diteliti secara sanad dan telah sampai kepada Rosulullah salallau’alaihi wasallam yang kita kenal dengan hadits berderajat sahih,mutafaq ‘alaih,mutawatir  maupun hasan.

Adapun mengenai perintah Itiba  kepada Rosulullah ketika mendirikan Shalat telah disabdakan dalam hadits nya :

 “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.”  [Al-Bukhari no. 631 lihat Fath al-Bari (2/131-132)]
Mnilik hadits diatas maka jelas sudah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk mencontoh gerak-gerik dan bacaan beliau dalam shalat
Kembali kepada title utama kita tentang batasan antara khilafiyah dan bid’ah dalam shalat ,maka shalat sendiri sesuai dengan keutamaannya didalam ajaran islam sangat mulia dan agung sehingga para ulama sering mendakwahkan shalat  sebagai pembeda antara orang kafir dan orang muslim yang didasarkan pada sabda rosulullah sebagai berikut

“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya maka benar benar ia telah kafir.”
( HR. Abu Daud, Turmudzi, An Nasai, Ibnu Majah dan Imam Ahmad ).

Dan hadits yang serupa,

“Sesungguhnya ( batas pemisah ) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim, dalam kitab al iman ).

Didalam artikel ini penulis tidak akan terlalu banyak mengulas bahasan tentang keutamaan shalat dikarenakan bahasan itu sendiri pun akan sangat banyak dan tidak akan cukup bila dibahas didalam satu artikel akan tetapi penulis hanya akan melampirkan beberapa sabda Rosulullah yang cukup mengutarakan tentang bagaimana pentinya shalat didalam ajaran agama islam

 “Islam dibangun atas lima pondasi: Yaitu persaksian bahwa tidak ada sembahan (yang berhak disembah) melainkan Allah, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)

Dan hadits berikut

“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa ‘Azza berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui-, “Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang?” Sekiranya sempurna, maka akan dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka Allah berfirman, “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?” Jikalau terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, “Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya semua amal manusia akan dihisab dengan cara demikian.” (HR. Abu Daud no. 964, At-Tirmizi no. 413, An-Nasai no. 461-463, dan Ibnu Majah no. 1425. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2571)

Dan juga sabda Rosulullah

Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.”
(HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1358 karena banyak jalannya)
Adapun dalam hal shalat terkadang saudara-saudara kita yang masih awam (termasuk saya pribadi –pen) dalam memahami konteks dalam batasan khilafiah  (perselisihan pendapat) sering dipusingkan dikarenakan adanya perbedaan gerakan-gerakan shalat yang  memang berbeda dikarenakan adanya dua hadits yang berderajat sahih,hal ini dalam perkara agama memang jamak terjadi bahkan di kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun. Namun demikian hal itu berbeda dengan yang selama ini dipahami banyak orang yang justru menjauh dari upaya mencari kebenaran dengan dalih

“ini adalah masalah khilafiyah….titik..!!”.

Dalam menyikapi hal ini sebagaimana para salaf (generasi awal) umat Islam telah terbukti sangat menjaga adab di saat khilaf, sehingga tidak menimbulkan perkara yang jelek, karena mereka selalu komitmen dengan adab-adab khilaf. (Kata pengantar Dr. Mani’ bin Hammad Al-Juhani terhadap kitab Adabul Khilaf hal. 5)

Adapun penyebab Khilafiah (Perbedaan pendapat) adalah :

1.      Karena dalil belum sampai kepadanya.
Hal ini tidak hanya terjadi setelah zaman para sahabat. Bahkan di zaman mereka pun pernah terjadi. Seperti tersebut dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melakukan safar menuju Syam. Di tengah perjalanan dikabarkan kepadanya bahwa di Syam tengah terjadi wabah tha’un. ‘Umar menghentikan perjalanannya dan bermusyawarah dengan para sahabat. Mereka berselisih pendapat. Ada yang mengusulkan untuk pulang dan ada yang berpendapat terus melanjutkan. Ketika mereka tengah bermusyawarah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang tadinya tidak ikut musyawarah karena ada suatu keperluan. Abdurrahman mengatakan: “Saya memiliki ilmu tentang ini. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

2.      “Jika kalian mendengar di suatu negeri ada tha’un maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di tempat yang kalian ada di sana maka janganlah keluar (dari daerah tersebut, red.) untuk lari darinya.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 5729)
2. Adakalanya hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia belum percaya (penuh) kepada yang membawa beritanya. Dia memandang bahwa hadits itu bertentangan dengan yang lebih kuat darinya. Sehingga dia mengambil dalil yang menurutnya lebih kuat.

3.       Hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia lupa.

4.       Dalil telah sampai kepadanya namun ia memahaminya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya kalimat “أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاء" artinya: Atau kalian menyentuh perempuan, dalam surat Al-Ma`idah ayat 6. Sebagian ulama mengatakan bahwa sekadar seorang lelaki menyentuh perempuan batal wudhunya. Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di sini adalah jima’ (bersetubuh) sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat inilah yang benar, dengan landasan adanya riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya lalu berangkat menuju shalat dan tidak berwudhu.

5.       Telah sampai dalil kepadanya dan dia sudah memahaminya, namun hukum yang ada padanya telah mansukh (dihapus) dengan dalil lain yang menghapusnya. Sementara dia belum tahu adanya dalil yang menghapusnya.

6.       Telah datang kepadanya dalil namun ia meyakini bahwa dalil itu ditentang oleh dalil yang lebih kuat darinya, dari nash Al-Qur`an, hadits, atau ijma’ (kesepakatan ulama).

7.       Terkadang sebabnya karena seorang alim mengambil hadits yang dhaif (lemah) atau mengambil suatu pendalilan yang tidak kuat dari suatu dalil.

(Diringkas dari risalah Al-Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Mauqifuna minhu bersama Kitabul Ilmi karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu)

Berikut ini adalah batsan antara khilafiyah dan Bid’ah yang terjadi didalam shalat yang mana hal tersebut dianggap biasa atau malah dianggap bagian dari Sunnah Rosulullahu ‘alaihi wasallam

saya dengan sengaja melampirkan dua organisasi besar di Indonesia yang memakai kaidah manhaj salaf sebagai acuan fiqihnya  (Muhammadiyah dan PERSIS) sehingga didalam malsalah kilafiyah kedua organisasi tsb akan dicantumkan memilih yang mana yang dianggap pendapat yang  paling kuat /rojih ::

1.Niat
Bid’ah : Melafadzkan Niat
Dasarnya Perkataan Imam Asy Syafii dalam kitab Al um sebagai berikut :
“Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan.Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ”
Padahal statement Imam Nawawi diatas telah disyarah oleh murid Imam Asy Syafii sendiri yaitu Imam An Nawawi sebagai berikut :
“Beberapa rekan kami berkata melafadzkan niat sebelum shalat saya katakana (Imam An Nawawi) “Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh As Syafi’i dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat, melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir. [al Majmuu' II/43; lihat juga al Ta'aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100]
Dalam hal ini tidak ada khilaf diantara para sahabat bahwa niat adalah tempatnya di hati.
Sesuai dengan tatacara shalat yang telah diajarkan Rosulullah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila engkau hendak mengerjakan sholat, maka sempurnakanlah wudhu’mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom.”
(Muttafaqun ‘alaihi).
Dilihat dari sabda diatas maka tidak ada pelafalan niat sebelum takbir.
2.Takbiratul ihram
Khilafiyah :
Ø  Sejajar pundak (Diputuskan oleh Dewan Hisbah PERSIS)
Dasarnya :
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radiyallahu anhuma, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang bahu jika hendak memulai sholat, setiap kali bertakbir untuk ruku’ dan setiap kali bangkit dari ruku’nya.”
(Muttafaqun ‘alaihi).
Ø  Sejajar telinga (Diputuskan oleh Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah)
Dasarnya :
berdasarkan hadits riwayat Malik bin Al-Huwairits radhiyyallahu anhu, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang telinga setiap kali bertakbir (didalam sholat).”
(Sahih HR. Muslim).
Sepakat :
membuka kedua telapak tangan dengan jari –jari tangan menghadap ke atasberdasarkan hadits
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan Hakim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke atas (tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya).
Bid’ah:
Mengepal tangan atau tidak membuka jari – jari tangan lurus ke atas
Dasarnya : tidak diketahui
3.Letak posisi sidekap di dada

“Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya.”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dari Wail bin Hujur).
Dilihat dari hadits diatas posisi sidekap dilakukan diatas dada
Terdapat perbedaan dalam hal posisi penyimpanan tangan yang sidekap ini apakah pas diatas dada atau di ulu hati (dari dada turun sedikit) atau diantara dada dan pusar maka ketiga hal tersebut dapat dikatakan benar (Wallahu a’lam)
Berdasarkan pendapat ulama :
Berikut ini pendapat para ulama dalam masalah ini, diringkas dari buku La Jadida Fi Ahkam Ash-Shalah karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid :
Pendapat Pertama , kedua tangan diletakkan pada an-nahr. An-nahr adalah anggota badan antara di atas dada dan di bawah leher. Seekor onta yang akan disembelih, maka disembelih pada nahr-nya dengan cara ditusuk dengan ujung pisau. Itulah sebabnya hari ke-10 Dzulhijjah, yaitu hari raya ‘Idul Adha (Qurban), disebut juga yaumun nahr -hari An-Nahr (hari penyembelihan)-.
Pendapat Kedua , kedua tangan diletakkan di atas dada. Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’iy pada salah satu riwayat darinya, pendapat yang dipilih oleh Ibnul Qayyim Al-Jauzy dan Asy-Syaukany, serta merupakan amalan Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albany dalam kitab Ahkamul Jana` iz dan Sifat Shalat Nabi .
Pendapat Ketiga ,kedua tangan diletakkan di antara dada dan pusar (lambung/perut). Pendapat ini adalah sebuah riwayat pada madzhab Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Authar . Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Imam Nawawy dalam Madzhab Asy-Syafi’i, dan merupakan pendapat Sa’id bin Jubair dan Daud Azh-Zhahiry sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ (3/313).
Pendapat Keempat , kedua tangan diletakkan di atas pusar. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dinukil dari Ali bin Abi Thalib dan Sa’id bin Jubair.
Pendapat Kelima ,kedua tangan diletakkan di bawah pusar. Ini adalah pendapat madzhab Al-Hanafiyah bagi laki-laki, Asy-Syafi’iy dalam sebuah riwayat, Ahmad, Ats-Tsaury dan Ishaq
Adapun pendapat pertama,keempat dan kelima adalah hasil ijtihad yang dinilai keliru (Wallahu a’lam) dan dibahas pada pembahasan dibawah

Bid’ah :
Ø  Posisi pada An Nahr (dibawah tenggorokan/leher)
Dasarnya
Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat pada an-nahr.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/31)
Riwayat ini lemah (Dhaif) karena pada sanadnya terdapat Ruh bin Al-Musayyab Al-Kalby Al-Bashry yang dikatakan oleh Ibnu Hibban bahwa ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dan tidak halal meriwayatkan hadits darinya. Lihat Al-Jauhar An-Naqy
Ø  Posisi menyimpan di bawah pusar
Dasarnya :
berdasarkan perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu Termasuk sunnah Nabi adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar.” (HR Ahmad dalam tambahan musnad dalam Fathul Baari 2/262 al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan sanadnya dhaif)
Ø  Posisi menyimpan di atas lambung kiri
Dasarnya :
Tidak diketahui (unknown) dasarnya dari mana
Tetapi bila dtanya apa alasannya mereka mengatakan ini adalah letak hati alasan ini menurut Syaikh Utsaimin tidak bisa diterima disebabkan:

Pertama, hal ini adalah alasan logika yang berseberangan dengan sunnah Nabi, sedangkan semua alasan logika yang berseberangan dengan sunnah Nabi harus ditolak karena sunnah Nabi-lah yang lebih berhak untuk diikuti.

Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat dalam posisi tangan diletakkan di pinggang sedangkan perbuatan di atas jika tidak sesuai dengan larangan dalam hal ini maka minimal mendekati larangan ini. Oleh karena itu jika kita melihat ada seorang yang melakukan demikian hendaklah mereka kita nasihati baik-baik.

Ketiga, posisi seperti ini adalah posisi yang tidak seimbang karena dalam hal ini sisi kiri badan lebih diutamakan daripada sisi kanan. Dan kita katakan perkara yang terbaik adalah yang pertengahan. Sedangakan posisi pertengahan antara sisi kiri dan sisi kanan adalah dengan meletakkan tangan di atas dada. (Lihat Shifat as-Sholah karya Ibn Utsaimin hal 49-50 cetakan Darul Kutub al-Ilmiah)

4.Cara bersidekap
Sidekap didalam Shalat terdapat Khilafiyah dalam hal cara tangan kanan diletakan diatas tangan kiri  adapun yang saya dapatkan sumbernya dari dalil hadits ada 2 macam sidekap
Khilafiyah :
Ø  Hanya meletakan tangan kanan diatas tangan kiri tanpa menggenggam
Dasarnya :
Dari Walid bin Hujr bahwa “Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya.”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, hadits no. 485).
Ø  Meletakan tangan kanan diatas tangan kiri dengan menggenggam tangan kiri
Dasarnya:
berdasarkan hadits Nasa’i dan Daraquthni:
“Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya.”
(sanad shahih).

5.Membaca Fatihah pada Makmum ketika shalat jahriyah (bacaan imam dikeraskan subuh,maghrib,dan Isya)
Khilafiyah
Ø  Makmum diwajibkan membaca alfatihah berdasarkan hadits.(HPT Muhammadiyah)
a.)Dari ‘Ubadah b in Ash Shoomit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah
HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394

Dan
b.)Dari Abu Hurairah, haditsnya marfu’sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 Barangsiapa yang melaksanakan shalat dan tidak membaca Al Fatihah di dalamnya, maka shalatnya itu kurang.” Perkataan ini diulang sampai tiga kali
HR. Muslim no. 395

 Dan,

c.)“Dari Abdullah Ibnu Abi Qatadah dari ayahnya (Abi Qatadah),(dilaporkan bahwa) Rasulullah saw bertanya (kepada para sababatnya): Apakahkalian membaca sesuatu di belakangku? Mereka menjawab: Ya. Beliau berkata: Jangan kalian lakukan itu, kecuali Ummul-Kitab(Al Fathihah).”
[HR. Ahmad]

Ø  Makmum wajib diam selama imam membaca ayat Alquran ( tidak membaca AlFatihah) (Dewan Hisbah PERSIS)

a.)“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’rof: 204)

 Dan,

b.)“Aku mendengar Abu Hurairah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah shalat subuh. Beliau bersabda: “Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)?” Seorang laki-laki menjawab, “Saya. ” Beliau lalu bersabda: “Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an?”
HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah, juga yang lainnya. Hadits ini shahih.
Dan,
c.)“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah. Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika imam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamd’. Jika imam sujud, sujudlah. HR. Bukhari no. 733 dan Muslim no. 411
Dalam riwayat Muslim pada hadits Abu Musa terdapat tambahan,
 Jika imam membaca (Al Fatihah), maka diamlah.

6.Imam membaca Basmalah diawal surat Alfatihah pada shalat Jahriyah

Khilafiyah.
Ø  Imam membaca Basmalah dengan Jahr (keras) (HPT Muhammadiyah)
Dasarnya :

a.)“Diriwayatkan dari Abu Hilal, diriwayatkan dari Nu'aim alMujammir, ia berkata: Saya shalat dibelakang Abu Hurairah (makmum). Maka beliau membaca ‘BismillahirRahmanirRahim’, kemudian membaca UmmulQur'an,
hingga ketika sampai pada ‘Gairilmagdlubi 'alaihim waladldlaalliin’ beliau membaca ‘Amiin’. Kemudian  orang-orang yang bermakmum membaca ‘Amiin’. Dan setiap bersujud beliau membaca ‘Allahu Akbar’ dan apabila berdiri dari duduk dalam dua rakaat, beliau membaca ‘Allahu Akbar’, dan apabila membaca salam (sesudah selesai), beliau berkata: Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya saya orang yang paling miripshalatnya dengan shalat Rasulullah saw.”
[HR. anNasa'i]

b.) “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila kamu membaca alHamdu Lillah (surat alFatihah), maka bacalah ‘BismillahirRahmanirRahim’, sebab surat alFatihah
adalah UmmulQur’an dan UmmulKitab dan Sab’ulMatsani, adapun basmalah adalah salah satu ayat dari surat alFatihah.”
[HR. adDaruquthni]

c.) “Diriwayatkan dari Anas r.a., bahwa ia pernah ditanya tentang bacaan Rasulullah saw (surat alFatihah), maka Anas menjawab: Bacaannya secara madd (panjang). Lalu ia membaca ‘BismillahirRahmanirRahim, alHamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin, arRahmanirRahim, Maliki Yaumiddin, …’.” [Ditakhrijkan oleh alBukhari dari Anas, adDaruquthni mengatakan: Sanadnya shahih]

Imam membaca Basmalah dengan sir (pelan) (HPT Muhammadiyah) (Hisbah PERSIS)
Dasarnya :

a.)    “Diriwayatkan dari Qatadah, diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Saya shalat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman r.a., tetapi saya tidak mendengar seorang pun di antara mereka yang membaca ‘BismillahirRahmanirRahim dengan keras.” [HR. anNasa'i]

b.)    “Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Saya shalat bersama Rasulullah saw, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, tetapi saya tidak mendengar seorang pun di antara mereka yang membaca: ‘BismillahirRahmanirRahim’.”
[HR. Muslim].

7.I’tidal

Sidekap atau Irsal ketika sedang I’tidal setelah ruku menjadi khilafiyah. Perselisihan ini terjadi karena tidak didapatkan nash yang secara tegas menyebutkan letak posisi kedua tangan dalam keadaan tersebut.
Sehingga dalam hal ini akan disebutkan dasar dari pendapat -pendapat tersebut :

Ø  Pendapat qabdh (sedekap, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri) sehingga sama dengan posisi tangan saat berdiri sebelum rukuk.

Dasar/alasan dari pendapat ini adalah :

1.)“Sesungguhnya, ketika berdiri dalam shalat, Nabi n memegang lengan kirinya dengan lengan kanannya (bersedekap).”
(HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 28/2, ath-Thabarani dalam al-Kabir 1/9/22, dan dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 2247)

Menurut pendapat pertama ini, bersedekap di saat berdiri bersifat umum, baik sebelum rukuk maupun setelahnya.

2.)Al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t menerangkan, pendapat yang menyatakan sedekap berdalil dengan hadits dalam Shahih Bukhari, Kitabul Adzan, bab “Wadh’ul Yumna ‘alal Yusra” (Peletakan tangan kanan di atas tangan kiri)

“Adalah manusia diperintah agar orang yang sedang shalat meletakkan tangan kanannya di atas lengan kiri bagian bawah.”
(HR. al-Bukhari no. 740)

Sisi pendalilan hadits di atas adalah disyariatkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat seseorang berdiri dalam shalatnya, baik sebelum maupun setelah rukuk.

3.Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa menegaskan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Nabi n meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan lengan bawah.
Tidak ada penyebutan yang membedakan letak posisi tangan ketika berdiri sebelum dan setelah rukuk. Dengan demikian, hadits ini mencakup kedua berdiri yang ada di dalam shalat. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah, 11/131—133)

Irsal (Tidak Bersidekap setelah rukuk) (Muhammadiyah dan PERSIS)

Pendapat ini diambil oleh sebagian ulama karena tidak ada dalil dari as-Sunnah yang jelas (sarih) menunjukkan qabdh ketika berdiri i’tidal.
Adapun hadits Wail yang dijadikan sebagai dalil qabdh diatas, sama sekali tidak menunjukkan qabdh yang dikehendaki (yaitu qabdh setelah rukuk), karena qabdh yang ada dalam hadits Wail adalah sebelum rukuk.

Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh dua jalur hadits berikut ini:

1.)“Ia pernah melihat Nabi n mengangkat kedua tangannya setinggi kedua telingany,sebagaimana disifatkan oleh perawi bernama Hammam,ketika masuk dalam shalat seraya bertakbir. Kemudian beliau berselimut dengan pakaiannya (memasukkan kedua lengannya ke dalam baju), lalu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Tatkala hendak rukuk, beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya kemudian mengangkat keduanya lalu bertakbir dan rukuk. Ketika mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya)’, beliau mengangkat kedua tangannya. Di saat sujud, beliau sujud di antara dua telapak tangannya.”
 (HR. Muslim no. 894)

2.)Aku sungguh-sungguh akan memerhatikan shalat Rasulullah n, bagaimana tata cara beliau shalat. Wail berkata, “Bangkitlah Rasulullah, menghadap kiblat lalu bertakbir, kemudian mengangkat kedua tangannya hingga bersisian dengan kedua telinganya. Setelah itu beliau memegang tangan kiri beliau dengan tangan kanan. Di saat hendak rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya seperti tadi lalu meletakkan keduanya di atas kedua lututnya. Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau juga mengangkat kedua tangan seperti yang sebelumnya. Ketika sujud, beliau meletakkan kepalanya di antara kedua tangannya. Kemudian duduk dengan membentangkan kaki kirinya… dan memberi isyarat dengan jari telunjuk….” (HR. Abu Dawud no. 726, an-Nasa’i no. 889, dan selain keduanya dengan sanad yang sahih, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Abi Dawud no. 716—717).

Dari hadits di atas dipahami bahwa bersedekap itu dilakukan pada berdiri yang awal, sebelum berdiri saat bangkit dari rukuk. Seandainya ada bersedekap saat bangkit dari rukuk, niscaya Wail (sang perawi hadits) tidak akan luput dalam menyebutkannya.

Maka melihat permasalan ini Ibnu Taimiyah pun mengemukakan pendapatnya antara lain :

 “Sungguh semangat dan keinginan kuat terkumpul pada sahabat untuk menukilkan semisal masalah ini. Apabila ternyata tidak ada penukilannya, berarti hal itu merupakan dalil bahwa perbuatan tersebut tidak pernah terjadi. Seandainya terjadi, niscaya akan diriwayatkan.” (Risalah Masyru’iyatul Qabdh fil Qiyam al-Ladzi Qabla ar-Ruku’ Dunal Ladzi Ba’dahu, al-Imam Allamatul Muhaddits al-Albani ).

Adapun hadits tulang  izham :

“Kemudian angkatlah kepalamu (dari rukuk) sampai engkau berdiri lurus [hingga setiap tulang mengambil posisinya].”

Dalam satu riwayat, “Apabila engkau bangkit, tegakkanlah tulang sulbimu, angkatlah kepalamu hingga tulang-tulang kembali ke persendiannya.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah  dalam Shahihnya no. 793.
Tentang adanya pendapat yang dimaksud dari lurusnya tulang yang dimaksud adalah tulang lengan maka itu adalah pendapat yang kurang tepat sehingga dalam hal ini Syaikh Albani Rahimahullah  dalam kitab berkomentar atas hadits diatas : Adapun tambahan dalam tanda kurung dan riwayat setelahnya adalah dari hadits Rifa’ah ibnu Rafi’ yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad t dalam Musnadnya.
Yang dimaksud dengan ‘izham (tulang) di sini adalah tulang yang berangkai di punggung (tulang belakang)….” (Risalah Masyru’iyatul Qabdh fil Qiyam al-Ladzi Qabla ar-Ruku’ Dunal Ladzi Ba’dahu, al-Imam Allamatul Muhaddits al-Albani)

Dan juga hadits tulang Faqar

“Saat mengangkat kepalanya (dari rukuk), beliau berdiri lurus hingga setiap faqar kembali ke tempatnya.” (HR. al-Bukhari no. 828) (al-Ashl, 2/700)

Faqar adalah rangkaian tulang punggung, mulai bagian paling atas di dekat leher sampai tulang ekor, sebagaimana disebutkan dalam al-Qamus.

Maka dalam hal ini hendaknya setiap muslim dan muslimah dapat memilihsesuai dengan keyakinan nya bersedekap ataukah Irsal sesuai dengan nukilan dari Imam Ahmad Rahimahullah
sebagaimana dinukil putranya, Shalih ibnul Ahmad, dalam Masail-nya hlm. 90 yaitu :

“Jika ia mau, ia melepas kedua tangannya ketika bangkit dari rukuk. Jika mau pula, ia bisa meletakkan keduanya,” adalah ijtihad yang tepat untuk mengatasi permasalahn sidekap dan irsal pada I’tidal ini,
Wallahu a’lam.


8.Turun saat hendak sujud
Khilafiyah :
Sebelum turun sujud terdapat beberapa khilafiah dalam hal ini antara lain bertakbir sambil mengangkat tangan atau tanpa mengangkat tangan
Ø  Bertakbir dengan mengangkat tangan sejajar telinga atau bahu sebelum sujud  dasarnya :
Terkadang, Rasulullah  mengangkat kedua tangannya ketika takbir untuk sujud ini. Kabar ini disampaikan oleh sepuluh orang sahabat dalam hadits-hadits mereka. Hadits-hadits tersebut ada yang sahih dan ada banyak  yang dhaif, namun (yang tidak sahih/dhaif) bisa dijadikan sebagai syahid (penguat). Di antara hadits yang menyebutkan mengangkat tangan ini adalah hadits Malik ibnul Huwairits,

“Ia pernah melihat Nabi n mengangkat kedua tangannya dalam shalatnya ketika beliau rukuk dan ketika mengangkat kepalanya dari rukuk. Demikian pula ketika beliau sujud dan saat mengangkat kepalanya dari sujud, sampai beliau menyejajarkan kedua tangan beliau dengan ujung kedua telinga beliau.”

(HR. an-Nasa’i no. 1085, Ahmad 3/436 & 437. Al-Imam Albani tmengatakan, “Sanadnya sahih menurut syarat Muslim.” [al-Ashl, 2/707])
Komentar ulama ::
Al-Imam an-Nasa’i t dalam Sunannya memberikan judul untuk hadits ini dalam dua bab:
1.      Bab “Raf’ul Yadain lis Sujud” (Mengangkat dua tangan untuk sujud) dan
2.      Bab “Raf’ul Yadain ‘indar Raf’i minas Sajdatil Ula” (Mengangkat kedua tangan ketika bangkit dari sujud yang pertama).

Ø  Bertakbir dan tidak mengangkat tangan setentang telinga atau bahu sebelum sujud dasarnya :

ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah  :
“Nabi Salallahu ‘alaihi wasallam bertakbir dan merundukkan tubuhnya untuk turun sujud”
 (HR. al-Bukhari no. 789 dan Muslim no. 866)

Tidak diberitakan Rosulullah mengangkat tangannya seraya bertakbir didalam hadits ini  dan amalan ini pula yang beliau n ajarkan dan perintahkan kepada orang yang salah dalam shalatnya sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud, :

 “Tidak sempurna shalat salah seorang dari manusia hingga…. Dia ucapkan (saat bangkit dari rukuk), ‘Sami’allahu liman hamidah.’ (Dia bangkit dari rukuk) hingga berdiri lurus. Kemudian dia berkata, ‘Allahu Akbar.’ Lalu sujud hingga tenang persendiannya.”

(HR. Abu Dawud no. 857, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Pada hadits sahih diatas pun tidak diberitahukan adanya mengangkat tangan ketika bertakbir akan turun sujud sehingga amalan mengangkat tangan ketika takbir hendak sujud dilakukan kadang-kadang. Apabila Rasulullah terus-menerus melakukannya, niscaya semua sahabat yang membawakan riwayat tentang mengangkat tangan ketika hendak sujud dan saat bangkit dari sujud akan menyebutkannya. Akan tetapi, kita dapatkan ada yang tidak menyebutkannya, bahkan meniadakannya.

Ø  Turun sujud dengan tangan terlebih dahulu

Para Ulama yang berpendapat turunnya tangan terlebih dahulu mengambil dari sisi nash dzhahir hadits dan kesamaan bentuk lutut manusia dengan bentuk lutut unta saat turun duduk
Adapun hadits yang dijadikan landasan  sbb :
1.)"Jika salah seorang dari kamu (berkehendak) sujud, maka janganlah dia menderum sebagaimana menderumnya onta, maka hendaklah dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya".

Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad II/381, Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/70), An-Nasa-I II/207, Ad-Darimi I/245, Al-Bukhari di dalam At-Tarikhul Kabir I/1/139, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/245, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:158-159), Ad-Daruquthni I/344-345, Al-Baihaqi II/99-100, Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/128-129, Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah III/134-135, dari jalan Ad-Darawurdi, dia berkata: Muhammad bin Abdillah Al-Hasan bercerita kepada kami, dari Abuz Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Isnadnya shahih, tidak ada kesamaran. Tetapi Syeikhul Islam

Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya yang istimewa, Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacatnya, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian"( Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:28. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992)

2.)"Nafi’ berkata: “Kebiasaan Ibnu ‘Umar meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya".

Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya secara ta’liq (tanpa menyebutkan sanadnya-Red), dan disambungkan sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah I/318-319, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/254, Ad-Daruquthni I/344, Al-Hakim I/226, Al-Baihaqi II/100, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160), dari jalan Ad-Darawurdi, dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar.

Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan bahwa Al-Hakim berkata: "Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan hadits itu memang sebagaimana yang dikatakan oleh keduanya" (Nahyush Shuh-bah ‘Anin Nuzul Bir Rukbah”, hal:41. Penerbit: Darul Kitab Al-‘Arabi, Cet:II, Th:1412 H/1992)

 3.) Berikut adalah penjelasan dari beberapa ulama :
Al-Mawirzi menyebutkan di dalam “Masailnya” dengan sanad yang shahih dari Al-Auza’I, bahwa dia mengatakan: “Aku mendapati orang-orang meletakkan tangan mereka sebelum lutut mereka”.

Riwayat ini disebutkan oleh Al-Albani di dalam Shifatush Shalat, dan beliau menyatakan: “Ibnu Sayyidinnas berkata: “Hadits-hadits yang mendahulukan kedua tangan lebih kuat”.

Ibnu Hazm berkata: “Kewajiban bagi setiap orang yang shalat jika bersujud, untuk meletakkan kedua tangannya ke tanah sebelum kedua lututnya, dan itu harus”. (Al-Muhalla IV/129)

Adapun beberapa ulama mempunyai pendapat bahwa menyamakan kedua kaki depan unta dengan tangan manusia dalam hal ini adalah kurang tepat bila dilihat secara dzhahir bahwa kaki depan unta bukan lah tangan manusia dilihat dari segi fungsi dan dikuatkan dengan Firman Allah  Ta’ala  didalam Alquranul Karim  bahwa Allah Ta’ala menciptakan binatang sejenis unta tanpa kaki sesuai dengan firman nya dalam surat An Nur 45 :

 “…maka sebagian ada yang berjalan diatas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki ,sedang sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki…(QS An Nur  - 45)

Maka jelas sudah unta termasuk kategori binatang yang berjalan dengan 4 kaki apabila dilihat secara fungsi kaki pada unta dan apabila unta duduk maka yang akan dilipat adalah kakinya terlebih dahulu sehingga bila ditinjau  lagi maka justru yang meletakan lutut terlebih dahulu secara dzhahir sama seperti menderumnya unta.Wallahu a’lam

Ø  Turun sujud dengan lutut terlebih dahulu

Berikut adalah beberapa redaksi  hadits turun sujud dengan mendahului lutut terlebih dahulu lalu tangan akan tetapi hadits-hadits yang senada seperti itu kebanyakan adalah dhaif diantaranya :

1.Dari Walid bin Hujr
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika beliau bersujud meletakkan kedua lutunya sebelum kedua tangannya, dan jika beliau bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.

Hadits Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/68-74), An-Nasa-i II/206-207, Ibnu Majah I/287, Ad-Darimi I/245, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/255, Ad-Daruquthni I/345, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (I/226), Ibnu Hibban (487), Al-Baihaqi II/98, Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah III/133, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160-161) dari jalan Syarik An-Nakh’i, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wail bin Hujr.

2.)"Bahwa beliau apabila bersujud, beliau memulai dengan kedua lututnyasebelum tangannya". [Hadits Dha'if]

Hadits ini asalnya satu, riwayat Ibnu Abi Syaibah I/263; Ath-Thahawi I/255; Al-Baihaqi II/100; dari jalan Muhammad bin Fudhail, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, secara marfu’ (dari Nabi). Hadits ini memiliki cacat, yaitu Abdullah bin Sa’id ini telah dinyatakn dusta oleh Yahya Al-Qaththan.

Ahmad berkata: “Haditsnya munkar dan ditinggalkan”. Ibnu ‘Adi berkata: “Kebanyakan yang dia riwayatkan kelemahannya nyata”. Al-Hakim Abu Ahmad berkata: “Orang yang haditsnya pergi (lemah)”. Al-Hafizh berkata di dalam Fathul Bari II/291: “Isnadnya dha’if

3.) "Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam turun dengan bertakbir, kedua lututnya mendahului kedua tangannya".

Hadits Dha’if. Riwayat Ad-Daruquthni I/345; Al-Hakim I/226; Al-Baihaqi II/; Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/129; Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal: 159); dari jalan Al-‘Ala’ bin Isma’il Al-‘Aththar, dia berkata: Hafsh bin Ghayyats telah bercerita kepada kami, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Anas

4.) Hadits Sa’ad bin Abi Waqqas, dia berkata:

"Kami dahulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, kemudian kami diperintahkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan".

Hadits Dha’if. Riwayat Ibnu Khuzaimah I/319 dan Al-Baihaqi I/100, dari jalan Ibrahim bin Isma’il bin Yahya Ibnu Salamah bin Kumail, dia berkata: bapakku telah menceritakan kepadaku, dari bapaknya, dari Salamah, dari Mush’ab Ibnu Sa’ad bin Abi Waqqash, dari bapaknya
5.)"Aku shalat di belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian belaiu bersujud, maka yang pertama kali sampai ke bumi adalah kedua lututnya".

Hadits Dha’if. Riwayat Al-Baihaqi II/99, dari jalan Muhammad bin Hujr, dia berkata: Sa’id bin Abdul Jabar bin Wail telah menceritakan kepada kami, dari ibunya, dari Wail bin Hujr. Hadits ini memiliki dua cacat:
a. Muhammad bin Hujr ini, Al-Bukhari berkata: “Padanya ada beberapa pandangan”. Adz-Dzahabi berkata: “Dia memiliki riwayat-riwayat yang mungkar”.
b. Sa’id bin Abdul Jabar, Nasai berkata: “Dia tidaklah kuat”.
Dan dia bukanlah Sa’id bin Abdul Jabar Al-Qurasyi, karena perawi ini termasuk guru imam Muslim

6.) "Bahwa Abdullah bin Mas’ud biasa meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya".
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi I/256, dari jalan Hammad bin Salamah dari Al-Hajjaj bin Artha-ah, Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Dihafal dari Abdullah bin Mas’ud bahwa kedua lututnya turun ke tanah sebelum kedua tangannya”.

Tetapi isnadnya dha’if, lemah, selain juga mauquf (hanya sampai sahabat). Al-Hajjaj bin Artha adalah perawi lemah dan mudalis (perawi yang suka menyamarkan hadits), dan dia telah menggunakan perkataan yang menunjukkan tadlis (penyamaran). Kemudian bahwa Ibrahim An-Nakha’i tidak bertemu Abdullah bin Mas’ud. Seandainya shahih-pun, maka riwayat ini bukanlah hujjah.

Sehingga hadits sahih yang tersedia untuk  turun sujud adalah hadits dibawah ini ::

“Jika salah seorang dari kamu (berkehendak) sujud, maka janganlah dia menderum sebagaimana menderumnya onta, maka hendaklah dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya".

Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad II/381, Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/70), An-Nasa-I II/207, Ad-Darimi I/245, Al-Bukhari di dalam At-Tarikhul Kabir I/1/139, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/245, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:158-159), Ad-Daruquthni I/344-345, Al-Baihaqi II/99-100, Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/128-129, Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah III/134-135, dari jalan Ad-Darawurdi, dia berkata: Muhammad bin Abdillah Al-Hasan bercerita kepada kami, dari Abuz Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka ulama yang berpendapat turunnya sujud dilihat dari kaidah bahasa arab (nahwu sharaf) bahwa serta makna turun di dalam hadits adalah makna menyerupai bentuk turunnya bukan bentuk kaki unta,sehingga disini kaki unta sebelah depan diibaratkan sebagai tangan manusia sehingga tatkala tangan manusia turun akan terlihatlah seperti halnya unta turun duduk penjelasan sbb ::
kalimat pertama yang berbunyi”janganlah turun untuk sujud sebagaiamana menderumnya onta” , larangan ini tentang sifat sujudnya yang ditunjukkan oleh huruf “kaf” yang berarti penyerupaan (tasybih). Bukan larangan tentang kesamaan pada anngota badan yang sujud. Sekiranya larangan terhadap kesamaan anggota badan yang sujud tentulah bunyi hadits tersebut Maka janganlah menderum persis dengan menderumnya onta, jika memang demikian maka kami katakana janganlah Anda turun sujud di atas dua lutut karena onta menderum di atas dua lututnya. Tetapi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan janganlah menderum persis dengan menderumnya onta, namun beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan janganlah menderum sebagaimana menderumnya onta. Ini adalah larangan tentang sifat dan tata cara, bukan larangan kesamaan meletakkan anggota badan saat sujud.
Oleh karena itu Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitabnya Zaadul Ma’ad (Zaadul Ma’aad juz 1 hal: 215-224 cet: Muassasah Ar Risalah di tahqiq oleh syaikh Syu’aib Al Arnauth dab Abdul Qadir Al Arnauth) yakin bahwa perawi hadits terbalik dalam menyebutkan kalimat terakhir dalam hadits tersebut. Kalimat terakhir tersebut yaitu: Hendaklah ia meletakkan dua tangannya sebelum dua lututnya, beliau berkata: yang benar hendaklah ia meletakkan dua lututnya sebelum dua tangannya; sebab sekiranya meletakkan dua tangan terlebih dahulu sebelum dua lututnya tentu ia akan bersujud sebagaimana menderumnya onta. Onta itu apabila menderum lebih mendahulukan tangannya. Barangsiapa yang pernah menyaksikan onta menderum tentulah jelas baginya permasalahan ini.
Maka yang benar jika kita ingin menyelaraskan hadits pada bunyi hadits yang terakhir dengan yang bunyi hadits yang pertama, yaitu: Hendaklah ia meletakkan dua lututnya sebelum dua tangannya, karena jika ia meletakkan dua tangannya sebelum dua lututnya sebagaimana maka akan terlihat turun sujud sebagaimana turunnya onta. Sehingga awal dan akhir hadits menjadi bertentangan.
Begitu pula dgn Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin (Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin jilid 3 hal: 170-183)mengatakan, bahwa bagian yang kedua dari hadits ini yaitu lafazh:
“…..dan hendaklah dia meletakkan kedua tangannya (turun dengan kedua tangannya lebih dulu) sebelum kedua lututnya “.
Lafazhnya terbalik. Hal ini disebabkan kekeliruan dari sebagian rawi hadits, sehingga terjadilah kontradiksi (pertentangan) di dalam hadits ini antara bagian pertama dengan bagian kedua:
Bagian pertama melarang turun ke sujud menyerupai turunnya onta. Sedangka turunnya onta telah diketahui secara pasti yaitu dari depan dulu kemudian belakang.
Bagian kedua sebagaimana lafazh di atas.
Maka terjadilah pertentangan yang tidak mungkin jama’!
Karena kalau kita turun ke sujud dengan kedua tangan lebih dulu, maka tidak ada ragu lagi, turunnya kita telah menyerupai keadaan dan sifat turunnya onta.  Wallahu a’lam.
9.Ketika sujud
Khilafiyah menyimpan tangan sejajar bahu atau telinga ketika sujud
Ø  Meletakan tangan sejajar bahu dasarnya :
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangannya (ketika sujud) sejajar dengan pundaknya.” (HR. Abu Daud, Turmudzi dan dishahihkan Al Albani dalam Sifat Shalat, Hal. 141)

Ø  Meletakan tangan sejajar dengan daun telinga dasarnya :
Dan terkadang “Beliau  meletakkan tangannya sejajar dengan telinga.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i dengan sanad shahih sebagaimana disebutkan Al Albani dalam Sifat Shalat, Hal. 141)
Khilafiyah merapatkan tumit kaki ketika sujud
Ø  Merapatkan tumit kaki ketika sujud dasarnya  :
“Beliau merapatkan kedua tumitnya (ketika sujud).” (HR. At Thahawi dan Ibn Khuzaimah dan dishahihkan Al Albani)
Hadits lengkap nya sebagai berikut
“Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal sebelumnya beliau bersamaku di ranjangku, ternyata aku dapati beliau dalam keadaan sujud merapatkan kedua tumitnya dan menghadap jeri-jemari kakinya ke kiblat”. (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Abani di dalam kitab Sifat Ash Shalat)

Keterangan :
Hadits ini diriwayatkan oleh: Ibnu Khuzaimah (654) dan dari jalannya: Ibnu Hibban (1933), Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar (1/234) dan Musykil Al-Atsar (hal. 111), Al-Hakim (1/228), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (2/116) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid. Semuanya dari jalan: Said bin Abi Maryam (dia berkata) Yahya bin Ayyub mengabarkan kepada kami (dia berkata) Umarah bin Ghaziyah menceritakan kepadaku (dia berkata) saya mendengar Abu Nadhrah (dia berkata), saya mendengar Urwah dia berkata: Aisyah berkata…
Syaikh Al-Albany ketika menyebutkan syariat merapatkan kedua tumit dalam Ashlu Shifat Shola An-Nabiy 2/737, beliau menyebutkan Tash-hih Al-Hakim di atas syarat Asy-Syaikhain dan Adz-Dzahaby menyetejuinya, lalu beliau berkomentar bahwa hadits tersebut hanya di atas syarat Muslim karena Al-Bukhâry tidak berhujjah dengan riwayat `Umarah, tapi hanya beliau pakai dalam syawâhid saja sebagaimana keterangan Adz-Dzahaby sendiri dalam Mîzânul I’tidâl. Dan beliau juga menyebutkan ucapan Tash-hih Ibnu Hajar dalam Al-Talkhish terhadap riwayat Ibnu Hibban.
Ø  Tidak merapatkan tumit kaki ketika sujud dasarnya :
 suatu kali aku tidur disamping Rasululloh sholallohu ‘alaihis salam maka pada sebuah malam aku merasa kehilangan beliau sehingga aku berusaha mencari beliau dengan tanganku dan tiba – tiba tanganku aku letakkan pada kedua telapak kaki beliau sementara beliau dalam keadaan sujud seraya berucap doa dst…

Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatho’ ( 1 / 214 ) Tirmidzy ( 5 / 489 ) Nasa’iy ( 2 / 222 ) Thohawiy dalam Syarah Ma’aniy al Atsar ( 1 / 234 ) Baghowiy dalam Syarhus Sunnah ( 5 / 166 ) .

Inilah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam malik dari hadits Aisyah rodhiyallohu anha, Adapun dari lafadz lain dalam shohih Muslim dan lainnya adalah berbunyi :

“Maka tanganku jatuh di atas kedua telapak kaki beliau.”
(HR. Muslim:1/352, Ahmad: 6/58, 201, Abu Daud: 1/547, An-Nasa`i: 1/102,Ad-Daraquthni: 1/143 dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid: 23/349 )

 dalam kesemua itu tidak terdapati seorangpun dari kalangan ulama salaf seperti sahabat,tabiin maupun tabiut tabiin atau bahkan ulama mazhab yang memberikan kesimpulan sebagai dalil atas disatukannya kedua telapak kaki orang yang sujud.

 Hal ini tiada lain adalah dikarenakan bahwa menyentuhnya tangan atau diletakkannya tangan pada kedua telapak kaki tidaklah mengharuskan dari hal tersebut bersatunya kedua telapak kaki sementara sunnah – sunnah itu tidaklah diambil dari pemahaman semisal demikian ini, terlebih lagi sunnah amaliyah dalam syiar terbesar dalam Islam yang dzohiroh.

Tidak pula di dapati dikitab – kitab madzhab Hanafiyyah ataupun Malikiyyah akan tetapi justru didapati dikitab – kitab madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah akan disunnahkannya merenggangkan kedua telapak kaki bahkan Syafi’iyyah menambahkan : direnggangkan selebar satu jengkal.

Berkata an Nawawiy rahimahulloh ta’ala dalam kitabnya ar Raudhoh ( 1 / 259 ) : “ aku nyatakan bahwa kawan – kawan kami semadzhab mereka mengatakan : dan disunnahkan untuk merenggangkan kedua telapak kaki.

Berkata Qodhi Abut Thoyyib : kawan – kawan kami semadzhab menyatakan : yaitu antara keduanya berjarak satu jengkal ”_selesai.

Berkata asy Syirozy dalam kitabnya al Muhadzdzab : “ dan merenggangkan kedua telapak kakinya berdasar apa yang diriwayatkan oleh Abu Humaid dst ”.

An Nawawiy menyebutkan dalam kitabnya al Majmu’ ( 3 / 373 ) pernyataan senada dengan ucapannya dalam kitabnya ar Roudhoh ““ aku nyatakan bahwa kawan – kawan kami semadzhab mereka mengatakan : dan disunnahkan untuk merenggangkan kedua telapak kaki.

Sedangkan dalam madzhab Hanabilah maka berkata al Burhan Ibnu Muflih rahimahulloh( wafat th. 884 )  dalam kitabnya al Mubdi’ ( 1 / 453 ) : “ dan merenggangkan kedua lututnya serta kedua telapak kakinya dengan alasan bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam jika beliau sujud maka beliau merenggangkan kedua pahanya

Adapun Hadits dari Yahya bin Ayyub Al-Ghafiqy dari `Umarah bin Ghaziyyah dari Abu An-Nadhr dari `Urwah dari `Aisyah radhiyallâhu `anhâ berkata:

 “Aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal sebelumnya beliau bersamaku di ranjangku, ternyata aku dapati beliau dalam keadaan sujud merapatkan kedua tumitnya dan menghadap jeri-jemari kakinya ke kiblat”. (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Abani di dalam kitab Sifat Ash Shalat)

Dan hadits
“Beliau merapatkan kedua tumitnya (ketika sujud).” (HR. At Thahawi dan Ibn Khuzaimah dan dishahihkan Al Albani)
Berikut Takhrij Hadits diatas :
Hadits ini diriwayatkan oleh: Ibnu Khuzaimah (654) dan dari jalannya: Ibnu Hibban (1933), Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar (1/234) dan Musykil Al-Atsar (hal. 111), Al-Hakim (1/228), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (2/116) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid. Semuanya dari jalan: Said bin Abi Maryam (dia berkata) Yahya bin Ayyub mengabarkan kepada kami (dia berkata) Umarah bin Ghaziyah menceritakan kepadaku (dia berkata) saya mendengar Abu Nadhrah (dia berkata), saya mendengar Urwah dia berkata: Aisyah berkata … .
Yahya bin Ayyub -rahimahullah-, walaupun haditsnya diriwayatkan oleh ashhab as-sittah kecuali Al-Bukhari (beliau hanya beriwayatkan haditsnya sebagai pendukung), akan tetapi para imam jarh wat ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Sebagiannya ada yang mentsiqahkan dan sebagian lagi ada yang melemahkannya, bahkan di antara mereka ada yang menjelaskan bahwa di dalam haditsnya ada ghara`ib dan manakir (hadits-hadits yang aneh lagi mungkar), sehingga harus dijauhi. Imam Ahmad menjelaskan alasan kenapa dia banyak bersalah dalam meriwayatkan hadits, “Dia menceritakan hadits dari hafalannya.” (Adh-Dhu’afa (hal. 211) karya Al-Uqaili)

Syaikh Bakar Abu Zaid -hafizhahullahu berkata mengenai hadits di atas :

“Beliau merapatkan kedua tumitnya ketika sujud,” adalah syadz(ganjil), Ibnu Khuzaimah -dan yang meriwayatkan darinya seperti Ibnu Hibban dan setelahnya- bersendirian dalam meriwayatkannya.
Keadaan lafazh ini seperti yang Al-Hakim katakan, “Saya tidak mengetahui ada seorang pun yang menyebutkan penggabungan kedua tumit dalam sujud kecuali apa yang terdapat dalam hadits ini,” karena kalimat ini adalah hasil penelitian beliau yang menunjukkan syadz dan mungkarnya lafazh ini.”
( nukilan dari risalah Laa Jadida fii Ahkam Ash-Shalah hal. 65-74)

Oleh karena itu hadits yang diriwayatkan oleh Yahya bin Ayyub Al-Ghafiqy tentang redaksi “Beliau merapatkan kedua tumitnya ketika sujud,”  pun di lemahkan oleh sebagian ulama  diantaranya :

Ø  Syaikh Muqbil bin HadiAl-Wâdi’iy dalam ta’liq beliau terhadap Mustadrak Al-Hakim jilid 1/340 no. 835. Beliau berkata, “Yahya bin Ayyub Al-Ghafiqy, walaupun beliau terbilang dalam rawi-rawi Al-Bukhary dan Muslim namun padanya adapembicaraan. Maka yang nampak (bagi saya) bahwa lafazh `merapatkan kedua tumi’ dalam hadits ini adalah syâdz (lemah).”

Ø  Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya Lajadida fi Ahkam Ash-Sholahhal. 68-75 juga melemahkannya dengan alasan yang disebut oleh Syaikh Muqbil, dan beliau juga menyebutkan bahwa para ulama fiqih tidak ada yang menyebutkan sunnah merapatkan kedua tumit kecuali dalam sebagiannukilan yang masih dipertanyakan. Dan tidak atsar dari para salaf tentang perakteknya.

wallohu a’lam .
10.) Membaca Alquran ketika bersujud
Khilafiyah membaca doa didalam Alquran ketika bersujud :
Ø  Membolehkan membaca doa dari Alquran ketika bersujud dasarnya :
karena niatan ketika itu adalah bukan untuk tilawah Al Qur’an, namun untuk berdo’a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
 Setiap amalan tergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).
Salah seorang ulama Syafi’iyah, Az Zarkasyi rahimahullah berkata,“Yang terlarang adalah jika dimaksudkan membaca Al Qur’an (ketika sujud). Namun jika yang dimaksudkan adalah do’a dan sanjungan pada Allah maka itu tidaklah mengapa, sebagaimana pula seseorang boleh membaca qunut dengan beberapa ayat Al Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj, 6/6, Mawqi’ Al Islam).
Adapun ketika bersujud maka itu adalah waktu mustajab untuk memohon kepada Allah dengan doa sesuai dengan hadits :
Saat paling dekat seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia  bersujud, maka perbanyaklah doa. HR. Muslim no.744
Serta fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Komisi Tetap Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia memfatwakan :
tidaklah mengapa jika ayat  semisal Robbana atina fii dunya…dst atau Robbana laa … dst tersebut dibaca untuk maksud do’a, bukan maksud untuk membaca Al Qur’an” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, pertanyaan ketiga,fatwa no. 7921, 6/441, ditandatangani oleh Syeikh Abdul 'Aziz bin Baz, Syeikh Abdurrazzaq 'Afifi, Syeikh Abdullah bin Qu'ud, dan Syeikh Abdullah bin Ghudayyaan))
Dari penjelasan ini, membaca do’a yang berasal dari Al Qur’an ketika sujud itu dibolehkan selama niatannya bukanlah untuk tilawah, namun untuk berdo’a.
Wallahu a’lam
Ø  Dilarang dengan Mutlak berdoa didalam sujud :
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para ulama.
1.      Ada ulama yang menyatakan bahwa sebaik-baik rukun shalat adalah berdiri dan sebaik-baik bacaan adalah Al Qur’an. Karenanya, yang afdhol ini ditempatkan pada yang afdhol. Sedangkan Al Qur’an tidak diperkenankan dibaca di tempat lainnya agar tidak disangka bahwa Al Qur’an punya kedudukan yang sama dengan dzikir lainnya.
2.      Ada pula ulama yang menyatakan bahwa ruku’ dan sujud adalah dua keadaan di mana seseorang tunduk dan hina di hadapan Allah, sehingga bacaan yang lebih pantas ketika itu adalah do’a dan bacaan tasbih. Oleh karena itu, terlarang membaca Al Qur’an ketika sujud dalam rangka untuk mengagungkan Al Qur’an dan untuk memuliakan yang membacanya. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 3/91)
Hal ini pun dipertegas lagi dengan hadits sbb :
1.)Dan aku dilarang membaca Al-Qur’an ketika ruku’ atau sujud, adapun saat ruku’ maka agungkanlah Rabb ‘Azza Wa Jalla, Adapun sujud maka bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdoa, sungguh dekat doa itu dikabulkan untuk kalian. (HR. Muslim no. 738)
2.)Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah  melarangku membaca Al-Quran saat ruku dan sujud. (HR Muslim [480].
Penjelasan Hadits menurut ulama/muhaddits sbb :
  1. Larangan membaca Al-Quran saat ruku dan sujud. At-Tirmidzi berkata dalam Sunannya (II/51), Ini merupakan pendapat ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi saw, para tabiin dan generasi setelah mereka. Mereka melarang membaca Al-Quran saat ruku dan sujud.
  2. Kandungan larangan dalam hadits di atas adalah haram. Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (II/276), Larangan ini menunjukkan haramnya membaca Al-Quran saat ruku dan sujud. Namun batalkah shalat orang yang membaca Al-Quran saat ruku dan sujud? Masalah ini masih diperselisihkan. 
  3. Kewajiban saat rukuâ adalah tasbih dan mengagungkan Allah sedangkan kewajiban saat sujud adalah tasbih dan doa. Oleh sebab itu, al-Khaththabi berkata dalam kitab Ma aalimus Sunan (I/214), Larangan membaca Al-Quran saat ruku dan sujud menguatkan pendapat Ishaq dan madzhabnya yang mewajibkan dzikir pada saat ruku dan sujud tujuannya agar dapat diisi dengan dzikir dan doa dari hadits sahih. 
  4. Larangan membaca Al-Quran saat ruku dan sujud meliputi pada shalat wajib dan shalat sunnah.
Syaikh al-Albani dalam Shifat Shalat Nabi berkata, Larangan tersebut bersifat mutlak, meliputi shalat wajib dan shalat sunnah.Sedangkan tambahan yang terdapat dalam riwayat Ibnu Asakir (17/299/1), Adapun dalam shalat tathawwu (shalat sunnah) silahkan saja membaca Al-Qurân adalah tambahan yang syadz atau munkar. Ibnu Asakir sendiri telah menganggapnya cacat, dengan demikian tidak boleh dipakai. 
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/540-541.
Perlu diingat doa bukan hanya terdapat didalam Alquran akan tetapi Rosulullah sendiri pun mengajarkan doa-doa kepada para sahabat maka adapun para ulama yang berbicara dengan alas an sebaik-baiknya doa adalah Alquran maka jawabannya justru telah ditegaskan di dalam Alquran sendiri bahwa Rosulullah tidak berkata-kata apalagi berdoa dari nafsu dan akalnya melainkan Beliau (Rosulullah ) dapatkan dari wahyu :
Firman Allah :
"Demi bintang apabila telah terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidaklah sesat dan tidak menyimpang. Dan tidaklah dia berbicara dari hawa nafsunya. Ucapannya tidaklain kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat."
(QS. An-Najm :1-5).
"Katakanlah olehmu (Muhammad): "Barangsiapa yang memusuhi Jibril maka sesungguhnya dia telah menurunkan Al Quran kepada hatimu dengan izin Allah yang membenarkan apa-apa yang ada di hadapannya dan sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang mukmin."
(Al Baqarah : 97)
Dan dapat pula direnungi dari Hadits berikut yang menyatakan bahwa hadits Rosulullah mempunyai keutamaan yang sama dengan Alquran
Ketika ditanya tentang kepribadian Nabi, 'Aisyah (salah seorang istri Nabi sall-Allahu 'alayhi wasallam dan seorang ahli hukum pada masanya) mengatakan, 
"Kepribadian beliau(Rosulullah)adalah Al-Qur'an.”
 diriwayatkan oleh Ähmad dalam Musnad-nya Nomor # 23460.
Sehingga hadits larangan dalam shalat adalah pengecualian atas larangan membaca ayat Alquran ketika sujud dan Ruku yang dasarnya dari Allah Ta’ala yang disampaikan melalui Rosulullah.
Wallahu a’la.
11.Duduk diantara dua Sujud
Tidak ada khilafiyah dalam hal duduk dua sujud akan tetapi terdapat adanya macam-macam duduk diantaranya duduk Iftirasy dan duduk Iqa’a adapun mengenai definisi dan gambar pada kedua macam duduk ini maka akan dibahas di lain kesempatan.Insya Allah.
12.Berdiri dari sujud menuju rakaat selanjutnya
Khilafiah duduk Istirahat (Jalsah Istirahah) sebelum berdiri kepada rakaat berikutnya :
Ø  Duduk Istirahah (Jalsah Istirahah) secara mutlak dilaksanakan setiap akan bangkit kepada rakaat selanjutnya :
Dasarnya :
yang menganjurkan secara mutlak bahwa hal tersebut dalam kondisi apapun dianjurkan. Salah satu dasarnya adalah hadits Malik bin Huwairits Radhiallahuanhu :

Bahwasanya beliau melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat, apabila beliau selesai dari rakaat ganjil (satu dan tiga) maka beliau tidak bangkit sampai duduk dengan tenang” (HR. Al-Bukhary)

Berkata Asy-Syaukany mensyarah hadits diatas:
“Di dalam hadist ini ada dalil disyari’atkannya duduk, yaitu duduk setelah sujud kedua sebelum bangkit ke rakaat kedua dan ke empat” (Nailu al-Authar 2/48)


Ø  Duduk Jalsah Istirahah tidak dilaksanakan secara Mutlak

Yang menyatakan bahwa duduk itu tidak dianjurkan bahkan langsung bangkit sebagaimana madzhab Hambali. Hal ini disebabkan menyalahi hadits-hadits yang tidak menyebutkan duduk tersebut.

An-Nu’man bin Abi "Iyas berkata : Kami mendapatkan bukan hanya sekali dua kali dari para shahabat Nabi saw. Maka apabila bangkit dari sujud diawal rakaat dan pada rakaat ketiga (mereka) langsung berdiri tanpa duduk (terlebih dahulu. (Nailu al-Authar 2 : 103)

"... Lalu Nabi sujud hingga sempurna sujudnya, lalu bangkit sampai sempurna duduknya (duduk diantara dua sujud), lalu sujud sampai sempurna sujudnya, kemudian bangkit sampai sempurna berdirinya. (HR. Bukhary)

Dapat dilihat bahwa dalam hadits diatas nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak  melaksanakan duduk istirahat akan tetapi langsung bangkit menuju rakaat selanjutnya.

Ø  Duduk Jalsah Istirahah (duduk istirahat)  ini boleh dilakukan  bila duduk tersebut dibutuhkan seperti bagi orang yang lanjut usia atau sakit-sakitan yang kalau langsung berdiri mata berkunang-kunang, sementara bila tidak dibutuhkan maka duduk ini tidak mesti dilakukan

Oleh karena itu para ulama menamakan duduk model seperti ini dinamakan jalsah istirahah (duduk istirahat). Fathu al-Baary 2 : 302

"...Yang jelas bahwa duduk seperti ini dilakukan oleh Nabi Shallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau (badannya) gemuk dan sudah mulai lemah (fisiknya) .. (Ta’liq bulughu al-Maram 61). Ibnu Al-Qoyyim mengatakan ... bahwa duduk seperti ini bukan merupakan sunnat shalat akan tetapi dilakukan karena suatui kondisi (Fiqh al-Sunnah I : 208).

Wallahu a’lam

Khilafiah mengepalkan tangan ketika berdiri dari duduk setelah duduk istirahat atau setelah duduk Tasyahud awal
Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang afdhal adalah, bertumpu pada kedua lututnya bukan kedua tangannya kecuali apabila dalam keadaan masyaqqoh (berat/sulit), sedangkan Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa yang afdhal adalah bertumpu pada kedua telapak tangan tanpa menggenggam.

Para ulama fikih dan hadits juga berbeda pendapat tentang hadits ‘ajn (mengepal) ketika bangkit dari sujud
Ø  Mengepalkan tangan ketika berdiri :
“Dari al-Azraq bin Qoys rahimahullâhu beliau berkata : Aku melihat ‘Abdullah bin ‘Umar sedang mengepal ketika sholat, beliau bertumpu pada kedua tangannya ketika berdiri. Saya bertanya kepada beliau, “apa yang anda lakukan ini wahai Abu ‘Abdirrahman?”. Maka beliau menjawab, “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengepal (ketika bangkit) di dalam sholatnya, yaitu bertumpu (pada kedua tangannya).”
Hadits di atas dishahihkan oleh al-Muhaddits al-Albani rahimahullâhu dalam Silsilah ash-Shahîhah hadits no 2674.
Syaikh al-Albani juga telah membantah mereka yang mendhaifkan hadits ‘ajn ini di dalam kitab Tamâmul Minnah (196-207). dan Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi juga juga menyinggung masalah ini di dalam buku terbaru beliau Su`âlât ‘Alî bin Hasan li Syaikhihi al-Imâm al-Allâmah a-Muhaddits al-Faqîh asy-Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî Jilid II hal 258-260.
Ø  Tidak mengepal tatkala berdiri menahan ke tanah
Dikarenakan tidak satupun dalil yang sahih dalam masalah ini ,ada dua hadits yang menyebutkan tentang hal ini :

1. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam jika beliau (hendak) berdiri dalam sholatnya, beliau meletakkan kedua tangannya di atas bumi sebagaimana yang dilakukan oleh al-‘ajin (orang yang melakukan ‘ajn)”.
Hadits ini disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhish Al-Habir (1/466) dan An-Nawawy dalam Al-Majmu’ (3/421).

Berkata Ibnu Ash-Sholah dalam komentar beliau terhadap Al-Wasith –sebagaimana dalam At-Talkhis- : “Hadits ini tidak shohih dan tidak dikenal serta tidak boleh berhujjah dengannya”.
Berkata An-Nawawy : “(Ini) hadits lemah atau batil, tidak ada asalnya”.


2. Berkata Al-Azroq bin Qois rahimahullah:
:“Saya melihat ‘Abdullah bin ‘Umar dalam keadaan melakukan ‘ajn dalam sholat, i’timad di atas kedua tangannya bila beliau berdiri. Maka saya bertanya : “Apa ini wahai Abu ‘Abdirrahman?”, beliau berkata : “Saya melihat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam melakukan ‘ajn dalam sholat –yaitu beri’timad (bertumpu dengan kedua tangannya)-”.
Diriwayatkan oleh Ath-Thobarony dalam Al-Awsath (4/213/4007) dan Abu Ishaq Al-Harby dalam Ghoribul Hadits (5/98/1) sebagaimana dalam Adh-Dho’ifah no. 967 dari jalan Yunus bin Bukair dari Al-Haitsam dari ‘Athiyah bin Qois dari Al-Azroq bin Qois.
Al-Haitsam di sini adalah Al-Haitsam bin ‘Imran Ad-Dimasyqy, meriwayatkan darinya 5 orang dan tidak ada yang mentsiqohkannya kecuali Ibnu Hibban sebagaimana bisa dilihat dalam Ats-Tsiqot (2/296) dan Al-Jarh wat Ta’dil (4/2/82-83). Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan rowi yang seperti ini sifatnya dan yang benar di sisi kami –wal ‘ilmu ‘indallah- bahwa rowi yang seperti ini dihukumi sebagai rowi yang majhul hal (tidak diketahui keadaannya) yang membuat haditsnya tidak bisa diterima.
Hadits ini juga bisa dihukumi sebagai hadits yang mungkar dari dua sisi :
  1. Al-Haitsam ini menyelisihi Hammad bin Salamah (Haditsnya diriwayatkan oleh Al-Baihaqy: 2/135) –yang beliau ini lebih kuat hafalannya- dan juga ‘Abdullah bin ‘Umar Al-‘Umary (Haditsnya diriwayatkan oleh ‘Abdurrozzaq no. 2964 dan 2969), yang keduanya meriwayatkan dari Al-Azroq bin Qois dengan lafazh, “bahwa beliau bertumpu di atas bumi kedua tangan beliau,” tanpa ada tambahan yang menunjukkan bahwa beliau melakukan al-’ajn (mengepalkan kedua tangannya).
  2. Hadits ini berisi tentang tuntunan sholat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang setiap hari disaksikan oleh para shahabat dan sekaligus hadits ini merupakan ‘umdah (pokok satu-satunya) dalam masalah ini. Maka bisa dikatakan : Kenapa hadits ini bersamaan dengan sangat dibutuhkannya, perkaranya disaksikan setiap hari dan merupakan umdah dalam masalah ini hanya diriwayatkan dari jalan Al-Haitsam dari Al-Azroq dari Ibnu ‘Umar?!. Mana murid-murid senior Ibnu ‘Umar, seperti : Salim (anak beliau), Nafi’ dan lain-lainnya, kenapa mereka tidak meriwayatkan hadits ini dari Ibnu ‘Umar tapi justru diriwayatkan oleh orang yang tingkat kemasyhuran dan hafalannya biasa-biasa saja?!
Dan termasuk perkara yang semakin menguatkan lemah hadits ini, yaitu bahwa para pengarang kitab hadits terkenal seperti ashhab kutubut tis’ah (Bukhary, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, Ibnu Majah, Malik, Ahmad dan Ad-Darimy) dan yang lainnya berpaling dari (baca : tidak) meriwayatkan hadits ini bersamaan dengan sangat dibutuhkannya dan isinya adalah suatu perkara yang disaksikan setiap hari. Tapi yang meriwayatkannya adalah Imam Abu Ishaq Al-Harby dan Ath-Thobarony yang beliau ini terkenal sebagai hathibu lail (pencari kayu bakar di malam hari) yang artinya beliau hanya sekedar mengumpulkan riwayat tanpa menyaring mana yang shohih dan mana yang lemah.
13. Tasyahud
Khilafiyah Duduk Tasyahud pada Shalat 2 rakaat
Ø  Duduk Iftirasy  pada shalat 2 rakaat
Dasarnya :
Di antara ulama yang berpendapat harus Iftirasy di rakaat ke-2 termasuk sholat subuh dan semisalnya ialah Imam Ahmad, Ibnu qoyyim, Ibnu Qudamah, dan Syaikh Albani rahimahumulla.
“Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan.”
(HR. Ibnu Hibban: 5/370/no.1943, sebagaimana dalam Al-Ihsan)
Semakna dengannya hadits Wail bin Hujr riwayat An-Nasai no. 1158 dengan sanad yang shahih.
Dan juga
 Dari Qasim bin Muhammad, dari Abdullah bin Abdullah bin umar, dari bapaknya (yaitu Abdullah bin Umar), bahwasannya dia pernah berkata, “Sesungguhnya sebagian dari sunnah shalat ialah engkau hamparkan kaki kirimu dan engkau tegakkan (kaki) kananmu.”

Shahih. Telah dikeluarkan oleh Nasaa’i (Juz 2 hal. 235)

Berkata Aisyah menjelaskan tentang sifat shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam-diantaranya:

“ …dan beliau mengucapkan setiap dua raka’at at tahiyyat, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (yakni beliau duduk iftirasy)…”

Shahih. Diriwayatkan oleh Muslim (Juz 2 hal. 54) dan lain-lain.

Berkata Waa’il bin Hujr menjelaskan tentang sifat shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya:

”Artinya : . …kemudian beliau duduk menghamparkan kaki kirinya (yakni duduk iftirasy), dan beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya, beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya kemudian beliau menggenggam dua jarinya di antara jari-jari tangan (kanan)nya (yakni jari manis dan jari kelingkingnya), kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakannya beliau berdo’a dengannya”
Hadits diatas menunjukkan bahwa nabi setiap kali duduk tasyahhud di rakaat yang kedua, maka beliau duduk iftirasy. Duduk tasyahhud di rokaat yang kedua ini, menurut Imam Ahmad dan yang sependapat dengannya, termasuk pula duduk tasyahhud akhir. 
Syaikh Albani menegaskan bahwa hadis Wail ini adalah dalam rangka menerangkan sifat sholat yang 2 rakaat sebagaimana dikuatkan dengan hadis Aisyah dan Ibnu Umar.
jadi walaupun tasyahhud akhir, namun bila itu duduk di rakaat kedua maka wajib iftirasy.
Wallahu a’lam
Ø  Duduk Tawaruk pada shalat 2 rakaat
Diantara ulama yang berpendapat harus tawarruk di setiap rokaat terakhir termasuk sholat subuh dan semisalnya ialah Imam Maliki dan  Syafii rahimahullah.
“Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan.”
(HR. Ibnu Hibban: 5/370/no.1943, sebagaimana dalam Al-Ihsan) Semakna dengannya hadits Wail bin Hujr riwayat An-Nasai no. 1158 dengan sanad yang shahih.
Hanya saja, hadits di atas tidak bisa dijadikan sebagai dalil bahwa semua shalat yang 2 rakaat, maka duduk tasyahudnya adalah iftirasy. Hal itu dikarenakan 2 alasan:


1.    Menjadikan angka yang tersebut pada hadits di atas (yaitu angka 2) untuk menunjukkan suatu hukum (mafhum al-adad) adalah metode berdalil yang lemah di kalangan ushuliyin. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath Al-Bari (3/146), “Yang benarnya, makna yang ditunjukkan oleh suatu angka/bilangan bukanlah makna yang meyakinkan, namun hanya bersifat kemungkinan.”
Maksudnya, penyebutan angka 2 di sini tidak bisa dipahami bahwa shalat yang dua rakaat harus diakhiri dengan duduk iftirasy, karena adanya kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan rakaat kedua dalam hadits tersebut adalah rakaat kedua dari shalat yang 4 rakaat.
Dan ada sebuah kaidah di kalangan ushuliyin yang berbunyi, “Jika pada makna sebuah dalil terdapat lebih dari satu kemungkinan yang saling bertentangan dan sama kuatnya, maka tidak diperbolehkan untuk berdalil dengannya.” Maka kalimat ‘dua rakaat’ dalam hadits Abdullah bin Az-Zubair dan Wail bin Hujr di atas mengandung dua kemungkinan yang sama kuat, yaitu: Dua rakaat pada shalat yang dua rakaat dan dua rakaat pada shalat yang empat rakaat. Karenanya tidak bisa berdalil dengannya.
2.Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa kalimat ‘dua rakaat’ dalam hadits di atas masih bersifat mutlak atau masih bersifat mujmal. Dan ada riwayat lain yang mengikat dan merinci kalimat tersebut, bahwa yang dimaksud dengannya adalah dua rakaat pada shalat yang empat rakaat, bukan pada shalat yang dua rakaat. Di antara riwayat tersebut adalah hadits Rifa’ah bin Rafi radhiallahu anhu secara marfu’:

“Maka jika engkau duduk di pertengahan shalat (rakaat kedua), maka thuma’ninahlah, dan hamparkan paha kirimu (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahhud.” (HR. Abu Dawud dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani. Lihat kitab: Ashlu Shifah Ash-Shalaah, Al-Albani: 3/831-832)
Dan juga hadits Abu Humaid As-Saidi radhiallahu anhu dia berkata:.
”Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy). Dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk di atas tanah (duduk tawarruk).”
(HR. Al-Bukhari: 2/828)
Maka perhatikan lafazh فِي الرَّكْعَتَيْنِ dalam hadits Abdullah bin Az-Zubair dengan hadits Abu Humaid di atas, niscaya kita bisa mengetahui kalau yang dimaksud dengan ‘dua rakaat’ dalam hadits Abdullah bin Az-Zubair adalah rakaat kedua dari 4 rakaat, bukan shalat yang dua rakaat. Wallahu a’lam.
Jadi kesimpulannya, hadits Abdullah bin Az-Zubair dan Wail bin Hujr di atas tidak menunjukkan bahwa semua shalat yang dua rakaat maka duduk tasyahudnya adalah duduk iftirasy.
Sekarang masalahnya, bagaimana cara duduk pada duduk tasyahud akhir pada shalat yang 2 rakaat -seperti shalat subuh dan shalat-shalat sunnah-?
Jawab:
Lahiriah hadits Abu Humaid di atas menunjukkan bahwa semua duduk tahiyat akhir -yaitu duduk tahiyat yang setelahnya salam- adalah duduk tawarruk, baik dia shalat yang 4 rakaat, 3 rakaat, 2 rakaat, atau 1 rakaat. Hal ini juga ditunjukkan dalam riwayat-riwayat lain hadits Abu Humaid ini, di antaranya:
”Jika pada raka’at yang terdapat padanya salam”, yakni beliau tawarruk. Riwayat ini disebutkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath.

Dalam riwayat Ibnu Hibban:
”(Raka’at) yang menjadi penutup shalat, maka beliau mengeluarkan kaki kiri (di bawah kaki kanan) dan duduk dengan tawarruk (panggul) di atas sisi kirinya.”

Dalam riwayat Ibnu Al-Jarud no. 192:
 “Sehingga pada duduk yang padanya terdapat salam, maka beliau mengeluarkan kaki kirinya dan duduk dengan tawarruk (panggul) di atas sisi kirinya.”
Dan dalam riwayat At-Tirmidzi no. 304 dan Ahmad: 5/424:
“Sehingga pada raka’at yang shalat berakhir padanya.”
Maka semua lafazh ini tegas menunjukkan bahwa cara duduk pada duduk tasyahud yang setelahnya salam atau tasyahud akhir adalah tawarruk, baik dia 1 rakaat, 2 rakaat, 3 rakaat, maupun 4 rakaat.
Khilafiyah Membaca “…assalamu`alaika ayyuhannabiy…” dan”…assalamu’alannabiy…” dalam do’a Tasyahud baik akhir maupun awal
Ø  Membaca “…Assalamu’alaika ayyuhannabiy…”
Dasarnya adalah
Bacaan salam kepada Nabi Muhammad saw dalam tasyahud itu seperti yang
diajarkan Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam adalah:
Maka jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, hendaklah ia mengucapkan … assalamu`alaika ayyuhannabiyyu warah matullahi wabarakatuh…(HR. Bukhari II/311)
Yang artinya
""Salam sejahtera serta rahmat dan berkah Allah bagimu wahai Nabi"

 bukan:

“..assalamu `alan nabiyy..”

yang artinya:

"…Salam sejahtera serta rahmat dan berkah Allah bagi Nabi…".

Dalam ibadah, terutama shalat, kita harus mengikut tuntunan Nabi Muhammad, sesuai dengan sabdanya:

(Shalatlahsebagaimana kamu melihatku shalat).

Dalam hal ini tidak ada kesepakatan para sahabat untuk menggantikan salam yang diajarkan Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi wasallam tersebut dengan salam kedua di atas setelah kewafatan beliau. Jadi,meskipun maknanya lebih tepat bagi sebagian ulama karena Nabi Muhammad saw. telah wafat, namun mengucapkan salam kepada Nabi saw di dalam tasyahud itu yang harus diikuti adalah sebagaimana yang diajarkan Nabi saw meskipun kita tidak mengetahui hikmahnya. Perlu ditambahkan di sini bahwa Nabi saw sendiri tidak pernah mengucapkan:

“…Assalamualaiyyaa warahmatullahi…”

yang berarti: "…Salam sejahtera serta rahmat  Allah bagiku…" dalam shalat beliau, padahal itu lebih tepat bagi beliau. Adapun di luar shalat, kita boleh mengucapkan salam kepada beliau dengan bentuk kedua di atas,dikhawatirkan hal tersebut menjadi hal yang diada-adakan terutaman dikarena kan diputuskan tanpa sepengetahuan Rosulullah (Rosulullah telah meninggal) adapun bila ini menjadi Ijma maka kedudukan nya jelas lebih kuat hadits yang telah diajarkan oleh Rosulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu a’lam

Ø  Membaca “…Assalamu’alannabiy…”
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Telah disebutkan di dalam sebagian riwayat adanya perubahan kata ganti pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada yang menerangkan bahwa kata ganti yang digunakan adalah dengan kata ganti orang kedua, hal ini dilafadzkan dalam kata `alaika, namun ketika Rasulullah wafat, ternyata tidak lagi menggunakan kata ganti orang kedua.
Disebutkan di dalam Shahih Bukhari pada kitab Al-Isti`dzan XI/56 nomor 6265 sebuah riwayat dari jalur Abu Ma`mar, dari Ibnu Mas`ud setelah menyebutkan hadits tentang doa tasyahud, dia berkata: Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di tengah-tengah kami, ketika telapak tanganku dilepas, kamipun berkata assalam, ya`ni assalamu`alanabiy.
Sedangkan Abu `Uwanah meriwayatkan dalam kitab shahihnya, kemudian diriwayatkan juga oleh As-Siraj, Al-Jauzaqi, Abu Nu`aim Ashbahani dan Al-Baihaqi dari beberapa jalur periwayatan yang bersambung pada Abu Nu`aim guru Al-Bukhari dengan redaksi sebagai berikut: Ketika telapak tanganku dilepas, kami berkata `as salam `alan nabiy`. Dalam redaksi ini tanpa menyebutkan ya`ni (maksudnya). Begitu juga diriwayatkan oleh Abu Syaibah dari Abu Nu`aim.
Imam As-Subki dalam kitab Syarhul Minhaj setelah memaparkan riwayat dari Abu `Uwanah, menyatakan: Jika ucapan itu benar dari para sahabat, hal itu menunjukkan bahwa penggunaan kata ganti `ka` (pada `alaika) tidak wajib diucapkan karena cukup mengucapkan assalamu`alan nabiyy`. Saya (Ibnu Hajar) berkata: Kesahihan hadits ini tidak perlu diragukan lagi, selain itu saya juga menemukan riwayat lain yang menguatkan hadits ini.
Abdur Razzaq berkata: Kami diberi kabar oleh Ibn Juraij, aku diberi kabar oleh `Atha bahwa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu mengatakan assalamu `alaika ayyuhan nabiy ketika beliau masih hidup. Namun setelah beliau wafat, para sahabat mengatakan as salam `alan nabiy, sanad hadits ini shahih. (Fathul Bary II/314, perkataan Ibnu Hajar ini telah dinukil dan disepakati oleh bebarapa ulama diantaranya Al-Qasthallani, Az-Zarqani, Al-Lakuni dan lain sebagainya)
Ibnu Hajar juga berkata: Yang jelas, para sahabat dulu mengatakan assalam `alaika ayyuhan nabiy, yakni dengan kata `alaika ketika beliau masih hidup. Sedangkan setelah Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka tidak lagi menyebutkan dengan lafadz seperti itu, namun yang mereka ucapkan adalah assalamu `alan nabiy. (Fathul Bary XI/56)
Syaikh Al-Bany dalam Kitab Sifat Shalat Nabi menjelaskan tentang riwayat doa tasyahud dari Ibnu Mas`ud: Lafadz Ibnu Mas`ud yang berbunyi assalamu `alan nabiyy, oleh para sahabat, semua diucapkan dengan lafadz assalamu`alaika ayyuhan nabiy dalam tasyahud ketika Nabi masih hidup. Ketika beliau sudah wafat lafadz tersebut mereka ganti dengan: assalamu`alan nabiy. Tentunya lafadz ini dipergunakan oleh para sahabat berdasarkan persetujuan dari Nabi. Hal ini diperkuat oleh riwayat bahwa `Aisyah mengajarkan lafadz tersebut kepada para sahabat ketika membaca tasyahud, yaitu bacaan assalamu`alan nabiy (dalam HR.Siraj dalam Musnadnya (9/1/2) dan Mukhallash dalam kitab Al-Fawaid (11/54/1) dengan sanad shahih)
Referensi:
1. Qoulul Mubin fii Akhthail Mushalin, Syaikh Mashur Hasan Salman
2. Sifat Shalat Nabi, Syaikh Al-Bany
Khilafiyah mengerakan atau tidak menggerakan jari telunjuk saat Tasyahud.
Ø  Tidak menggerakan jari telunjuk
Dasarnya
Hadits Nabi Shallahu’alaihi wasallam :
1.)Hadits 1.
“Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semua meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebut hadits di atas.
a)      Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini Sebagai Berikut :
 Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawakib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.
b)      Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata  أخبرني  (memberitakan kepadaku).
c)       Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).
d)     ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).
e)      ‘Abdullah bin Zubair. Sahabat.
Derajat Hadits:
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.
Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
¤    Pertama : Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan.
¤    Kedua : Syadz karena menyelisihi.
Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah

“Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.
Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.
Maka kami melihat bahwa lafadz ‘laa yuharrikuha’ (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan karena beberapa perkara :
1.     Muhammad bin ‘Ajlan walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.
2.     Riwayat Muhammad bin ‘Ajlan juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
3.     Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :
a.    Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.
b.    Abu Khalid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.
c.    Yahya bin Sa’id Al-Qoththon, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.
d.    Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.
Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) akan tetapi Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
4.     Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan), maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, maka riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut. Tiga orang ini adalah :
a.    ‘Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Awanah 2/241 dan 246.
b.    Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.
c.    Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang sangat kuat yang tersebut diatas menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajlan.
2.)Hadits 2
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya diatas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaitan”. Dan beliau berkata : “adalah Rasulullah r mengerjakannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.
Derajat Hadits:
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata :  shoduq yukhtiu katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama.
‘Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdurrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
1.     Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2.     Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3.     Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no. 648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4.     Yahya bin Sa’id Al-Anshory, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5.     Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
6.     ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7.     Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
1.     Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
2.     Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
Kesimpulan :
Seluruh hadits yang menyatakan jari telunjuk tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Hadits ke 3 yang menyatakan menggerak-gerakan jari telunjuk
“Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Zaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wail bin Hujur.
Derajat Hadits:
Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan tidak syadz.
Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasan hal tersebut sebagai berikut : Zaidah bin Qudamah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semua meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wail bin Hujur. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan).
Dua puluh dua rawi tersebut adalah :
1.     Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
2.     Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
3.     Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
4.     Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
5.     ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
6.     ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
7.     Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
8.     Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
9.     Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
10.     Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
11.     Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
12.     Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
13.     Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
14.     Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
15.     ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
16.     Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
17.     Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
18.     Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
19.     ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
20.     Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
21.     ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
22.     Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Zaidah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.
Adapun Zaidah bin Qudamah, beliau meriwayatkan hadits dengan lafazh, “Kemudian beliau mengangkat jarinya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkan jarinya lantas beliau berdoa dengannya.” Zaidah rahimahullah bersendirian dalam meriwayatkan hal ini berbeda dengan perowi yang lain. Bedanya beliau adalah karena adanya tambahan lafazh “yuharrikuhaa”, artinya beliau menggerak-gerakkan jarinya.
Zaidah bin Qudamah itu tsiqoh (kredibel) dan orang yang mulia, semoga Allah merahmati beliau. Beliau juga dipandang sebagai orang yang tsiqoh (kredibel) dan muthqin (kokoh hafalannya). Akan tetapi, mayoritas perowi tidak menyebutkan sebagaimana yang disebutkan oleh Zaidah. Sehingga dari sini kita diamkan tambahan yang dibuat oleh Zaidah yaitu tambahan “yuharrikuhaa”, artinya beliau menggerak-gerakkan jarinya.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata, “Tidak ada dalam satu riwayat yang menyebutkan “yuharrikuha” kecuali dari riwayat Zaidah di mana beliau (bersendirian) menyebutkannya.”
Al Baihaqi rahimahullah berkata, “Boleh jadi yang dimaksud dengan yuharrikuha (menggerak-gerakkan jari) adalah hanya berisyarat dengannya, bukan yang dimaksud adalah menggerak-gerakkan jari. Sehingga jika dimaknai seperti ini maka jadi sinkronlah dengan riwayat Ibnu Az Zubair. Wallahu a’lam.”
Syaikh Mushthofa Al ‘Adawi berkata, “Riwayat Ibnu Az Zubair yang dikeluarkan oleh Muslim hanya menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berisyarat saja dan tidak disebutkan menggerak-gerakkan jari. Syarh ‘Ilalil Hadits, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, Maktabah Makkah, 168-170.
Dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Az-Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ketika berdo’a dan tidak menggerakkannya. Tambahan hadits ini (dan tidak menggerakkannya) masih perlu ditinjau keshahihannya.”
Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim, berasumsi bahwa tambahan tersebut (dan tidak menggerakkannya) menyimpang. Ini bisa dilihat dari:
Pertama, Muhammad bin ‘Ijlan tidak menetapkan hadits yang menyatakan, “Tidak adanya gerakan.”

Kedua, pendapat Ibnu ‘Ijlan berseberangan dengan riwayat mereka yang tidak menyebutkan redaksi “Tanpa gerakan”. Mereka itu adalah Utsman bin Hakim, dan ‘Ashim bin Kulaib. ‘Ashim lebih tsiqah daripada Muhammad bin ‘Ijlan, seperti terlihat dari hasil terjemahannya dalam At-Tahzib.
Syaikh Muhammad Bayumi juga melihat bahwa pendapat Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad, kemudian riwayat Abu Dawud yang tidak menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu dalam shalat, maka secara umum argumentasinya menjadi batal dengan riwayat dari Wail bin Hujr.
Kesimpulan :
Penyebutan lafazh yaharrikuha  (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Wallahu A’lam.
Pendapat Para Ulama Dalam Masalah Ini
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah posisi jari telunjuk : Apakah digerak-gerakkan atau tidak.
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama dalam masalah ini :
Pertama : Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hambaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.
Kedua : Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dari kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan Syafiiyyah.
Ketiga : Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam keadaan berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh Al-Albany -rahimahullahu ta’ala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak.
Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan.
Namun dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah. Adapun cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang ketiga itu bisa digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa dipakai berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang shohih yang telah tersebut di atas bahwa Nabi- hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau. Dan dari kata “berisyarat” itu dapat dipahami apakah jari telunjuk digerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya sebagai berikut
Kata “berisyarat” itu mengandung dua kemungkinan :
Pertama : Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.
Kedua : Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : “Dimana letak kitab Shohih Al-Bukhory?” Maka tentunya saya akan mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih Al-Bukhary yang berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.
Walaupun kata “berisyarat” itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak digerak-gerakkan. Hal tersebut dipastikan karena dua perkara :
Pertama : Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan Ash Sholatu Tawqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah) maksudnya tata cara sholat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak digerak-gerakkan.
Kedua : Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary N0.   dan Imam Muslim No.538 :
إن في الصلاة شغلاًَ
“Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan”
Maka ini menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada dalilnya dan tata caranya (maksudnya cara menggerakan telunjuk yang dicontohkan rosul) dari Al-Qur’an atau hadits Rasulullah yang shohih.
Ø  Menggerakan jari telunjuk saat Tasyahud
Pembahasan tentang gerak jari telunjuk ketika tasyahud berpulang kepada hadits Waail bin Hujr yang diriwayatkan dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Khulaib dari Khulaib bin Syihaab. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Aashim bin Kulaib, ia berkata, “Telah mengabarkan kepadaku bapakku (yaitu Kulaib bin Syihaab) dari Waail bin Hujr –semoga Allah Meridhainya- ia berkata, ‘Aku berkata (yakni di dalam hati): Sungguh! Betul-betul aku akan melihat/memperhatikan bagaimana caranya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat?’
Berkata Waail, ‘Maka aku melihat beliau berdiri (menghadap ke kiblat) kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sehingga setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan kedua tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya dan di atas pergelangan dan lengan.’
Berkata Waail,’Ketika beliau hendak ruku’ beliau pun mengangkat kedua tangannya seperti di atas, kemudian beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya (yakni I’tidal) sambil mengangkat kedua tangannya seperti di atas. Kemudian beliau sujud dan beliau letakkan kedua telapak tangannya setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau duduk (duduk di sini dzahirnya duduk tahiyyat/tasyahhud bukan duduk di antara dua sujud karena Waail atau sebagian dari rawi meringkas hadits ini) lalu beliau menghamparkan kaki kirinya dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya dan beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya beliau berdo’a dengannya’
(Berkata Waail), ‘Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin, maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian mereka karena udara sangat dingin)’.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh :
1. Ahmad dalam Kitab al Musnad IV/318 dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/444.
2. al Bukhari dalam Kitab Qurratul ‘Ainain bi Raf’,il Yadain Fish Shalah hal. 27 no. 30 secara ringkas dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/445.
3. Abu Dawud dalam Kitab as Sunan I/178 no. 727, Bab Raf’ul yadain fish shalah.
4. an Nasai dalam Kitab as Sunan I/463 no. 888, Bab Maudhi’ul yamin minasy syimali fish shalah. Begitu pula dalam Kitab Sunanul Kubra I/256 no. 873.
5. Ibnu Hibban dalam Kitab ash Shahih, sebagaimana tercantum dalam kitab al Ihsan V/170-171 no. 1860.
6. Ibnu Khuzaimah dalam Kitab as Shahih I/234 no. 480 Bab Wadh’u bathni kaffil yusra rusghi was sa’id jamii’an.
7. ad Darimi dalam Kitab as Sunan I/230 no. 1357.
8. al Baihaqi dalam Kitab Sunanul Kubra II/189 no. 2787 Bab Man rawa annahu asyara biha wa lam yuharrik.
9. ath Thabrani dalam Kitab al Mu’jamul Kabir XXII no. 82 pada hadits Kulaib bin Syihab Abu ‘Ashim al Jarami dari Waa-il bin Hujr.
10. Ibnu Jarud dalam Kitab al Muntaqa no. 208 Bab Shifat shalatin Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam.
Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari satu jalan, yaitu dari jalan Zaa-idah bin Qudamah, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya (Abu Ashim), dari Waa-il bin Hujr.
Hadits ini memiliki sebuah syahid (pendukung), dari Umar bin al Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa seperti ini dan Syuraih pun membentangkan telapak tangannya yang kiri dan ia berkata, ‘Dengan menggerakkan jari telunjuknya yang kanan’” (HR. Ibnu Adi dalam Kitab al Kaamil fidh Dhu’afa VI/267)
Ibnu Adi meriwayatkannya dari Ahmad bin Ja’far al Balkhi, dari Muhammad bin Umar al Bazzar, dari Syuraih bin an Nu’man dari Utsman bin Miqsam, dari ‘Alqamah bin Marsyad dari Zir bin Hubaisy dari Sa’id bin Abdurrahman dari ayahnya dari Umar bin al Khaththab.
Imam Ibnu Adi berkata tentang perawinya yang bernama Utsman bin Miqsam, “ …dan kesimpulannya (ia seorang perawi) yang lemah, akan tetapi bersamaan dengan kelemahan yang ada padanya, haditsnya boleh ditulis”, hal ini juga dikemukakan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158-159.]
Hadits Waa-il bin Hujr di atas telah disahkan oleh banyak ulama, diantaranya :
1. Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.
2. Imam Ibnu Hibban, juga sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.
3. Imam an Nawawi dalam Kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454.
4. Imam Ibnu ‘Abdil Bar telah mengisyaratkan tentang sahnya hadits ini dalam Kitabnya al Istidzkaar IV/262.
5. Sebagaimana juga Imam al Qurthubi telah menukil pen-shahih-an Ibnu Abdil Bar di atas dalam Tafsir-nya, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 43.
6. Ibnul Mullaqqin dalam Khulashatu Badril Munir I/139 no. 646.
7. al Hafizh al Baihaqi telah menshahihkan, sebagaimana yang dikatakan oleh al Khaththib asy Syarbini dalam Kitab Mughnil Muhtaj I/255
8. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim dalam Kitab Zaadul Ma’ad (I/239)
9. Syaikh al Albani telah menshahihkannya dalam banyak kitabnya, diantaranya : Shifat Shalat Nabi hal. 158, Tamamul Minnah hal. 214, Shahih Sunan Abi Dawud no. 717, Shahih Sunan an Nasai dan Irwaa-ul Ghalil no. 352.
Kesimpulan : Hadits Wail bin Hujr dari jalan Zaaidah dari ‘Ashim adalah hadits Shahih sebagaimana keterangan diatas.
Pertanyaan : “Bukankah ada sebagian ulama yang mendhoifkan hadits diatas dengan alasan tambahan lafadz yuharrikuha (يحركها‪‪) pada hadits tersebut adalah syadz karena Zaaidah bin Qudamah telah menyendiri dalam meriwayatkan lafadz يحركها‪‪?”
Maka dijawab : Shahih… ada sebagian ulama yang menyatakan hadits tersebut adalah hadits syadz karena tambahan lafadz يحركها‪‪. tidak diriwayatkan kecuali dari jalan Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Khulaib. Sedangkan setidaknya ada 22 rawi yang meriwayatkan hadits dari ‘Ashim bin Khulaib hanya dengan lafadz إشارة‪‪ (Isyarat) tanpa ada tambahan يحركها‪‪. Dua puluh dua rawi tersebut adalah :
1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Adapun hadits dengan lafadz Isyarat yang dimaksud adalah :
 “Aku melihat Nabi mengangkat kedua tangannya dalam shalat ketika takbir …… dan meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan lengan tangan kanan di atas paha tangan kanannya, lalu berisyarat dengan jari telunjuknya …” (HR. Ahmad IV/317, ath Thabrani 22/34/81 dan lainnya)
Maka dijawab : Untuk mengetahui sebuah hadits syadz atau tidak kita harus melihat kembali apa itu definis syadz. Berikut adalah penjelasan dua imam besar tentang definisi syadz.
Pertama : Syaikh al Albani berkata dalam mukadimah kitab beliau Tamamul Minnah tentang hadits syadz,
“Hadits syadz adalah (hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yang diterima (periwayatannya, akan tetapi) periwayatannya menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya, sebagaimana yang dipegang oleh para ahlul hadits, dan Ibnu ash Shalah pun telah menerangkan hal itu.
Apabila seorang perawi menyendiri dalam suatu periwayatan, maka harus diperiksa, dan jika perawi yang menyendiri tersebut menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya dari segi hafalan atau pun kedhabitannya maka apa yang diriwayatkannya itu syadz dan tertolak.
Namun apabila dalam (tambahan periwayatannya itu) tidak ada perselisihan dengan apa yang diriwayatkan oleh yang lain, hanya saja ia meriwayatkan sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya, maka diperiksa keadaan perawi yang menyendiri ini, jika ia adalah seorang perawi yang adil, hafizh, terpercaya dalam kekokohan serta kedhabitannya maka diterima apa yang ia riwayatkan secara menyendiri tersebut”
Kedua : Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah, halaman 86
 “Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat yang berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya, maka kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada kelompok hadits dla’if. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat tunggal itu kepada hadits syadz yang munkar (teringkari)”. —- selesai perkataan Ibnu Shalah —–
Setelah mengetahui definisi tentang hadits syadz di atas maka dua hal yang harus kita lakukan untuk memeriksa apakah hadits Zaaidah bin Qudamah tersebut syadz atau tidak:
Pertama :Memeriksa kondisi perawi hadits tersebut yang diperselisihkan oleh para ulama, dalam hal ini adalah Zaa-idah bin Qudamah. Berikut keterangan dua Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah,
1. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046 berkata, “(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang perawi yang tsiqah lagi tsabit/kuat)”
2. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, “Ia (Zaa-idah bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin, ia tidak menganggap suatu pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka yang telah disaksikan keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus (Sunnah)”
Berkata Syaikh al Albani, “Oleh karena itu tidak mudah bagi kita untuk menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaa-idah (bin Qudamah) ini, khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya. karena apabila kita menganggap syadz, maka niscaya akan banyak sekali riwayat – riwayat yang harus dihukumi seperti itu” (Dinukil dari kaset Imam al Albani yang berjudul Laa Qusyura fil Islam no. 167/8037 al Istiqamah)
Demikianlah pendapat para Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah, yang artinya adalah periwayatan hadits yang dilakukan olehnya dapat diterima.
Kedua : Memeriksa apakah ada pertentangan antara lafadz tahrik bertentangan dengan lafadz Isyarat ? Jawaban yang tepat bahwasanya tidak ada pertentangan antara lafadz tahrik dan isyarat baik ditinjau secara lughoh maupun dari dalil.
Dari segi bahasa dapat difahami bahwa isyarat itu terkadang disertai dengan gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak (jadi disini yang terjadi bukan pertentangan lafazh, tetapi hanya permasalahan lafazh umum dan lafazh khusus). Syaikh Al ash Sha’idi al ‘Adawi al Maliki dalam Kitab Hasyiyah al ‘Adawi ‘ala Syarbi Kifayatut Thalibur Rabbani I/356 berkata,
“Bahwa lafazh isyarat itu lebih umum daripada lafazh tahrik, mungkin berisyarat dengan cara menggerakkan (atau) mungkin tidak”.
Dan apabila ditinjau dari segi dalil, maka ada suatu hadits yang menarik untuk dibahas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang kisah shalatnya para shahabat di belakang Rasulullah dengan cara berdiri, padahal Rasulullah shalat sambil dalam keadaan duduk, maka beliau pun mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk semua (HR. al Bukhari dan Muslim)
Hadits yang dimaksud adalah :
Setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari lafazh hadits tersebut bahwasannya isyarat beliau tidak hanya dengan mengangkat tangan saja, akan tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan untuk menyuruh para sahabat agar shalat dalam keadaan duduk.
Ringkasnya adalah isyarat tidak menafikan atau meniadakan tahrik, maka pernyataan bahwa isyarat itu bertentangan dengan tahrik adalah tidak benar jika ditinjau dari segi lughah dan dalil.
Sehingga di dalam kitab Tamamul Minnah Syaikh al Albani memberikan kesimpulannya, “Menolak otensitas gerakan telunjuk dalam riwayat terkucil dari Zaid bin Qudamah tanpa perawi – perawi ‘Ashim bin Kulaib yang lain adalah suatu kesalahan besar karena dua alasan, Pertama : Mereka meriwayatkan isyarat dan isyarat tidak bisa menafikan adanya gerakan jari, Kedua : Kejujuran Zaidah (bin Qudamah) dan karena sudah tua, ia sangat teliti dalam meriwayatkan hadits. Para imam sepakat memberikan kesaksian atas dapat dipercayainya dan al Bukhari – Muslim pun berhujjah dengannya”
Kesimpulan : Bahwasanya hadits tahrik Zaaidah bin Qudamah bukanlah hadits syadz, justru hadits inilah yang menjelaskan tentang keumumam lafadz isyarat dalam hadits yang diriwayatkan dari selain Zaaidah bin Qudamah. Allahu A’lam
Pertanyaan : “Ada beberapa hadits yang justru menjelaskan bahwasanya Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها‪‪ ), bagaimana penjelasannya ?”
Maka dijawab: Memang benar ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها‪‪ ) , setidaknya ada dua buah hadits yaitu hadits Abdullah bin Zubair dan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhum. Hadits tersebut adalah :
Hadits Pertama : hadits Abdullah bin Zubair, yakni :
Diriwayatkan dari Hajjaj dari Ibnu Juraij dari Ziyad dari Muhammad bin Ajlan dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair, sesungguhnya ia menerangkan, ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.” Berkata Ibnu Juraij, “Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya (Abdullah bin Zubair) : Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “ (HR Abu Dawud no 989)
Hadits Semakna juga diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i dan Imam Baihaqi, berikut haditsnya :
Riwayat Imam Nasa’i 3/32 :
حدثنا حجاج قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها‪
‫‫‪
Riwayat Imam Baihaqi 2/131-132 :
أخبرنا حجاج بن محمد قال قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا لا يحركها
Keterangan dan Takhrij Hadits :
1. Hajjaj disini ialah Hajjaj bin Muhammad sebagaimana yang tercantum di sanad Baihaqi yang lengkapnya : Hajjaj bin Muhammad al Mishishi. ( المصيصي‪‪ حجاج بن محمد‪‪ )
2. Ziyad disini adalah Ziyad bin Sa’ad bin Abdurrahman (زياد بن سعد بن عبد الرحمن ‪‪ ), seorang rawi yang tsiqat dan tsabit ( Taqribut Tahzhib 1/268 & Tahdzibut Tahdzib 3/369-370)
3. Perkataan Ibnu Juraij ” Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya dan seterusnya.” Menunjukkan bahwa Ibnu Juraij terima dari dua rawi :
a. Pertama, Ziyad dengan lafadz tegas “telah mengkhabarkan kepadaku” (أخبرني‪‪ ). Coba lihat riwayat Imam Nasa’i dan Imam Baihaqi diatas.
b. Kedua, Amr bin Dinar dengan lafadz tadlisnya ” ia berkata” (قال‪‪ ). Coba lihat riwayat Imam Abu Dawud diatas.
4. Demikian juga ada dua orang rawi yang terima dari Amir bin Abdullah yaitu Muhammad bin Ajlan dan Amr bin Dinar.
Jelasnya, hadits ini diriwayatkan dari Amir bin Abdillah dari bapaknya Abdullah bin Zubair dengan dua jalan.
Jalan pertama :
· حجاج Hajjaj –
· بن جريج Ibnu Juraij –
· زياد Ziyad –
· محمد بن عجلان Muhammad bin Ajlan -‫
· عامر بن عبد اللهAmir bin Abdillah –
· Abdullah bin Zubair – عبد الله بن الزبير
Dengan Lafadz : أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها‪‪ ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.”
Pada jalan ini terdapat dua illat/penyakit, yaitu :
Pertama : Hajjaj bin Muhammad, meskipun ia seorang rawi yang tsiqat dan tsabit, tetapi di akhir umurnya ia telah ikhtilat (bercampur atau telah berubah hafalannya). Dan dalam keadaan demikian ia masih saja menceritakan hadits. Sedangkan dalam riwayat ini tidak diketahui atau diragukan apakah ia meriwayatkan sebelum ikhtilat atau sesudahnya ? terhadap riwayat yang demikian hukumnya didiamkan atau dianggap lemah selama belum ada keterangan yang tegas atau ada rawi lain yang tsiqat yang menyetujui riwayatnya. Kenyataannya riwayat Hajjaj bin Muhammad telah menyendiri sehingga kalau kita periksa riwayat-riwayat dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair tidak kita dapati tambahan لا يحركها‪‪ kecuali dari jalan Hajjaj ini ( Baca Tahdzibut Tahdzib 2/205-206 dan Taqribut Tahzhib 1/154)
Kedua : Muhammad bin Ajlan, rawi ini telah dianggap tsiqat oleh imam-imam : Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, al Ijli, As Saji, Ibnu Saad dan Ibnu Hibban dan lain-lain. Rawi yang dipakai oleh imam-imam : Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dan lain-lain. Adapun Imam Bukhari tidak memakainya dikitab Shahihnya sebagai ‘dasar atau hujjah’ kecuali dipakai di riwayat-riwayat muallaq sebagaimana telah diterangkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar di Muqaddimah Faathul Baari hal 458.
Muhammad bin Ajlan ini meskipun ia seorang rawi tsiqat, tetapi ia juga seorang mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abi Hatim dan lain-lain. Al Hafidz Ibnu Hajar dikitabnya Thabaqaatul Mudallisin hal 69 telah memasukkannya di martabat ketiga dari rawi-rawi mudallis, yaitu tentang seorang mudallis yang sering melakukan tadlis dan tidak dijadikan hujjah hadits-hadits mereka oleh para imam kecuali mereka menegaskan didalam hadits mereka yang menunjukkan mereka mendengar. Sedangkan dalam hadits diatas Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dengan lafadz tadlisnya yaitu ia ber-‘an’anah (memakai lafadz عن‪‪), dengan demikian riwayatnya tidak dapat diterima.
Pertanyaan :“Bukankah di Musnad Imam Ahmad, Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dari Amir bin Abdillah dengan lafadz yang tegas yaitu : telah menceritakan kepadaku (حدثني‪‪) yang menunjukkan ia betul telah mendengar dan sekaligus hilanglah tadlisnya ?
Maka dijawab : ” betul” untuk lebih jelasnya silahkan lihat hadits berikut :
Dari Yahya bin Said dari Ibnu Ajlan, ia berkata, ” Telah menceritakan kepadaku Amir bin Abdillah bin Zubair, dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata , ‘Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam biasa apabila duduk tasyahud ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya dan tangan kirinya diatas paha kirinya sambil ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan pandangannya tidak melampaui isyaratnya. (Dikeluarkan oleh Ahmad 4/3, Abu Dawud 990, Nasa’i 3/33 dan Ibnu Khuzaimah 718 dan ini adalah lafadz Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani)
Pertanyaan : Adakah di hadits diatas disebut tambahan لا يحركها‪‪ ? jawabnya, tidak ada ! maka sebetulnya hadits diatas menjadi hujjah yang memperkuat bahwa lafadz لا يحركها‪‪ adalah syadz karena menyalahi rawi-rawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ajlan sendiri seperti : Yahya bin Said (hadits diatas), Abu Khalid al Ahmar, Laits (Muslim 2/90 dan Ibnu Hibban 1934) dan lain-lain. Dan menunjukkan bahwasanya lafadz لا يحركها‪‪ tidak datang kecuali dari jalan Hajjaj dan Ibnu Juraij sebagai illat yang lain bagi hadits ini.
Jalan Kedua :
· حجاج Hajjaj –
· Ibnu Juraij – بن جريج
· ‫ عمرو بن دينار Amr bin Dinar –
· Amir bin Abdillah – عامر بن عبد الله
· Abdullah bin Zubair – عبد الله بن الزبير
Dengan lafadz, أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى‪‪ “Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “
Pada jalan inipun terdapat dua illat, yaitu :
Pertama : Hajjaj bin Muhammad sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya
Kedua : Tadlisnya Ibnu Juraij dengan lafadz قال‪‪ . Sudah maklum bahwsanya Ibnu Juraij adalah seorang rawi yang tsiqat akan tetapi mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh banyak imam diantaranya : Ahmad bin Hambal, Nasa’i, Daruquthni, Ibnu Hibban dan lain-lain.Yahya bin Said berkata tentang Ibnu Juraij : Jika Ibnu Juraij didalam riwayatnya menggunakan lafadz حدثني‪‪ maknanya ia telah mendengar hadits itu secara langsung dari Syaikh/gurunya. Dan apabila ia menggunakan lafadz أخبرني‪‪ menunjukkan ia yang membaca dihadapan gurunya. Kalau ia meriwayatkan dengan lafadz قال‪‪ maka disamakan dengan angin yakni tidak diterima riwayatnya
Walhasil dari uraian diatas tahulah kita bahwasanya hadits Abdullah bin Zubair dengan tambahan lafadz لا يحركها‪‪ adalah hadits dhoif. Allahu A’lam
Hadits Kedua : Hadits Ibnu Umar
 “Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam mengerjakannya”. ( Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448)
Keterangan dan Takhrij Hadits :
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti (jujur tapi banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththa’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4. Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
6. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
1. Tujuh rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
Kesimpulan : Dari uraian diatas maka pendapat yang tepat tentang hadits لا يحركها‪‪ adalah Dhoif. Allahu A’lam.
Pertanyaan : “Kita dapati ada sebagian ulama yang menshahihkan hadits لا يحركها‪‪ seperti Imam Nawawi dalam majmu’.”
Maka dijawab : Nyatanya hadits tersebut adalah dhoif sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Kalaupun ada yang menganggap bahwasanya hadits diatas Shahih (walaupun pendapat yang lebih rajih bahwasanya hadits tersebut dhoif) maka hadits لا يحركها‪‪ adalah Nafi’ sedangkan hadits يحركها‪‪ adalah Musbit, sedangkan sudah ma’ruf dikalangan para Ulama akan kaidah المثبت مقدم على النافي‪‪ ” Yang menetapkan (adanya gerak jari) didahulukan daripada yang meniadakan (tidak ada gerak jari). Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh dua imam besar yaitu :
Pertama : al-Imam Ibnul Qayyim dikitabnya Zaadul Ma’aad 1/238-239 di ta’liq oleh Abdul Qadir Arnauth dan Syuaib Arnauth, beliau berkata :
Adapun hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair, Bahwa Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan tidak menggerak-gerakannya. Maka tambahan (tidak menggerak-gerakkan) perlu diteliti keshahihannya. Karena sesungguhnya Imam Muslim telah menyebut hadits ini dengan panjang di(kitab) Shahihnya dari Abdullah bin Zubair dan ia tidak menerangkan tambahan ini, tetapi Abdullah bin Zubair berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam apabila duduk di dalam sholat, ia jadikan kaki kirinya diantara paha dan betisnya dan ia hamparkan telapak kaki kanannya, dan ia letakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya dan ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya sambil beliau berisyarat dengan jari (telunjuk)nya.
Lagi pula, pada hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair ini tidak menunjukkan di dalam sholat. Kalaupun memang di dalam sholat keadaannya sebagai nafi’ (meniadakan menggerak-gerakkan) sedangkan hadits Wail bin Hujr mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari) dan mutsbit didahulukan, dan hadits Wail adalah hadits Shahih telah diterangkan oleh Abu Hatim (Ibnu Hibban) di kitab Shahihnya.
Penta’liq kitab Zaadul Ma’aad mengatakan tentang hadits Wail, sanadnya Shahih dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Tentang Abdullah bin Zubair dikatakan “Sanadnya hasan dan telah dishahihkan oleh an Nawawi di Majmu’ “
Kedua : Ahli Hadits besar Syaikh Albani di kitabnya Sifat Sholat Nabi hal 170, beliau mengatakan :
وحديث أنه كا ن لايحركهالا يثبت من قبل إسنا د ه كما حققته في ” ضعيف أبي داود ” ولو ثبت فهو نافي و حد يث الباب مثبت و المثبت مقدم على النافي كما هو معروف عند العلماء
Dan bahwasanya beliau tidak menggerak-gerakkan jari telunjuknya, tidaklah tsabit (tetap/kuat) dari jurusan sanadnya sebagaimana telah saya terangkan di Dhoif Abu Dawud, dan kalaupun tsabit, maka dia itu nafi’ (meniadakan), sedangkan hadits dalam bab ini (maksudnya hadits Wail) mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari). Dan yang mutsbit itu didahulukan atas nafi’ sebagaimana telah ma’ruf dikalangan para ulama.‫
Kesimpulan : Bahwasanya menggerak-gerakkan jari telunjuk waktu Tasyahud adalah merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam, karena telah tsabit dari beliau akan keterangannya. Oleh karena itu hendaklah kita menjaga dan melaksanakan segala sesuatu yang merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam. Allahu A’lam
Al Faqir Abu Aufa
Maraji’ :
1. Menggerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud, Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Pustaka Abdullah, Jakarta, Cetakan Pertama, Rajab 1425 H/Agustus 2004 M.
2. Terjemah Tamamul Minnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Salafy Press, Tegal, Cetakan Pertama, Jumadits Tsani 1422 H/September 2001 M.
3. Al Masaail jilid ke-2, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Daarus Sunnah, Jakarta
4. Kedudukan Hadits menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud, Ustadz Dzulqarnain bin Sanusi, An-Nashihah.com melalui blog akh Abu Maulid As Salafy di http://antosalafy.wordpress.com/2007/04/03/kedudukan-hadits-menggerakkan-jari-telunjuk ketika-tasyahud/
PERINGATAN :

Akan tetapi harus difahami disini jumhur ulama besepakat tentang kapan mulai di isyaratkan jari telunjuk yaitu dari awal tasyahud sampai dengan akhir tasyahud
Sebagaimana beberapa hadits berikut :



Hadits 1 .

Hadist Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma:


“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim)
Hadits 2
Dari Nafi’ beliau berkata:

“Abdullah bin ‘Umar apabila duduk di dalam shalat meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan memberi isyarat dengan jarinya, dan menjadikan pandangannya mengikuti jari tersebut, kemudian beliau berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ini lebih keras bagi syetan dari pada besi, yaitu jari telunjuk.’” (HR. Ahmad)
Hadits 3
Dari Abdullah bin Umar bahwasanya beliau melihat seorang laki-laki menggerakan kerikil ketika shalat, ketika dia selesai shalat maka Abdullah berkata: Jangan engkau menggerakkan kerikil sedangakan engkau shalat, karena itu dari syetan. Akan tetapi lakukan sebagaimana yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya dan mengisyaratkan dengan jari di samping jempol (yaitu jari telunjuk) ke arah qiblat, kemudian memandangnya, seraya berkata: Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan. (HR. An-Nasa’i)
Mengomentari hadits diatas Berkata Al-Mubarakfury:

“Dhahir hadist-hadist menunjukkan bahwa isyarat dilakukan semenjak awal duduk” (Tuhfatul Ahwadzy 2/185, Darul Fikr).


Adapun dasar dari beberapa Bid’ah yang sering terjadi ketika sebagian kaum muslimin mulai mengangkat jari telunjukny tatkala memasuki Lafadz  “Laa ilaa ha…”(Syahadat) maka hal itu didasari oleh beberapa pendapat yang disandarkan kepada beberapa hadits diantaranya :
a)      Dalam shahih Muslim II: 890 diriwayatkan sebuah hadits dari Jabir ra. menyebutkan bahwa :

“Rasulullah  bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.
Maka dari hadits diatas dikeluarkan pendapat sbb :

Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan jari telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” (suka) berisyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar III:51, hadits shahih.
b)      Dalam sunan Baihaqy II:133 disebutkan:

“Rasulullah Saw melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Maha mulia dan Mahal uhur”,

yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata-kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat.

c)      Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi II:133 dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi,

“Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”,
sedangkan ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu.

Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’ Al-Zawaid II:140,

“Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar…”.

d)     Pendapat ini juga didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.;

“Dan (beliau Saw) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”.

(HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya). Do’a yang dimaksud hadits tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi saw. dan do’a-do’a lainnya sebelum mengucapkan salam.
Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah III : 177 mengatakan :

“Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyaratkannya pada kata illallah….”

Madzhab kebanyakan orang-orang Syafiiyyah menyatakan bahwa disunnahkan berisyarat dengan jari telunjuk kemudian diangkat jari telunjuk tersebut ketika mencapai kata hamzah ( إ ) dari kalimat لا إله إلا الله.
Hal ini disebutkan oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/434 dan dalam Minhaj Ath-Tholibin hal.12.

Dan hal yang sama disebutkan oleh Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 1/362 dan beliau tambahkan bahwa hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy.
e)      Syeikh Ibnu Ruslan dalam kitab Zubadnya mendendangkan sebuah syair:

"Ketika mengucapkan illallahu, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mengesakan Dzat yang engkau sembah."(Matan az-Zubad, hal 24).

Jadi, mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud itu disunnahkan karena merupakan teladan Nabi Muhammad SAW. Perbuatan itu dimaksudkan sebagai symbol sarana untuk mentauhidkan Allah SWT.
dari keterangan-keterangan diatas dapat dibantah sbb :
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy itu adalah hadits Khafaf bin Ima’ dan di dalam sanadnya ada seorang lelaki yang tidak dikenal maka ini secara otomatis menyebabkan hadits ini lemah.

2. Hal yang telah disebutkan bahwa dzohir hadits-hadits yang shohih menunjukkan bahwa Nabi r mengangkat jari telunjuk dari awal hingga akhir menyelisihi hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqy tersebut sehingga ini semakin mempertegas lemahnya riwayat Al-Baihaqy tersebut.

3. Orang-orang Syafiiyyah sendiri tidak sepakat tentang sunnahnya mengangkat jari telunjuk ketika mencapai huruf hamzah ( إ ) dari kalimat لا إله إلا الله , karena Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/434 menukil dari Ar-Rafi’y (salah seorang Imam besar dikalangan Syafiiyyah) yang menyatakan bahwa tempat mengangkat jari telunjuk adalah pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir.

4. Hal yang disebutkan oleh orang Syafiiyyah ini tidak disebutkan di dalam madzhab para ulama yang lain. Ini menunjukkan bahwa yang dipakai oleh para ulama adalah mengangkat jari telunjuk pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir.
5.Jelas pada kitab syaikh Ibnu Ruslan yang dijadikan rujukan adalah syair bukan Assunnah sahih maka secara otomatis dalil nya ditolak.
Khilafiyah membaca Sholawat pada Tsyahud awal
Ø  Tidak membaca Sholawat pada Tasyahud awal
Para ulama yang berpendapat bahwa Shalawat Nabi tidak dibaca pada tasyahud pertama, maka bacaan mereka pada tasyahud pertama dibatasi hanya sampai bacaan dua kalimat syahadat saja, kemudian berdiri. Hal ini didasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk setelah dua raka’at pertama seperti duduk di atas radhf.
Berdasarkan hadits dari Ibnu Mas’ud tersebut, Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab Zaadul Ma’ad berpendapat, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat membatasi bacaan tasyahudnya, sehingga (ketika beliau duduk tasyahud) seperti duduk di atas radhf -yaitu batu panas- dan tidak ada satu hadits pun yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bershalawat untuknya dan keluarganya dalam tasyahud ini (setelah dua raka’at pertama).”
Hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan imam yang empat, Imam Al-Hakim dari riwayat Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud dari bapaknya tersebut lemah menurut Ibnu Daqiqil Ied dalam At-Talkhis 1/163. Hadits ini terputus sanadnya (munqathi’), karena Abu Ubaidah tidak mendengar langsung dari bapaknya. Dan Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. At-Tirmidzi berkata, “Hadits tersebut hasan.” Hal ini kontradiktif (bertolak belakang) dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Daqiqil Ied, karena Abu Ubaidah tidak mendengar dari bapaknya, dan juga tidak bertemu dengannya. Ini merupakan hadits yang terputus sanadnya.
Imam Al-Albani berkata, “Dalil yang tidak bisa dijadikan landasan hukum, tidak bisa digunakan untuk membatasi keumuman dan kemutlakan yang ditunjukkan pada tasyahud pertama, keumuman hadits ini sangat layak. Adapun dalil terkuat yang dijadikan argumentasi oleh mereka yang menentang ini adalah hadits Ibnu Mas’ud. Hadits ini tidak tergolong shahih karena terputus sanadnya.
Ø  Membaca Sholawat pada Tasyahud awal
Para ulama yang berpendapat bahwa Shalawat Nabi juga dibaca pada tasyahud pertama berdasarkan pada:
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca shalawat untuk dirinya pada tasyahud awal dan lainnya. (HR. Abu ‘Awanah dalam Shahihnya dan An-Nasa’i)
# Keumuman hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para sahabat ketika mereka bertanya,
Ya Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana memberi salam kepadamu, tetapi bagaimana kami bershalawat atasmu?” Maka beliau bersabda, “Ucapkanlah Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…” dan seterusnya hingga selesai. (HR. Muttafaq ‘alaih)
Dan juga hadits Qiyamul Lail berikut.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha, ia berkata, "Dahulu kami mempersiapkan siwak dan air wudhu untuk Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Kapan saja beliau bangun, beliau dapat bersiwak dan berwudhu lalu mengerjakan shalat malam sebanyak sembilan rakaat. Beliau tidak duduk kecuali pada rakaat ke delapan, lalu beliau berdoa kepada Rabbnya dan bershalawat kepada nabi-Nya, lantas beliau bangkit tanpa mengucapkan salam. Kemudian beliau melanjutkan ke rakaat kesembilan, lalu duduk (tasyahud akhir), memuji Rabbnya, bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa ." HR Muslim 746. 
Dalam hadits diatas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara tasyahud pertama dan tasyahud kedua. Karena itu, maka dibolehkan bershalawat atas Nabi pada tasyahud yang pertama. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm 1/102, ia berkata, “Bacaan tasyahud dan shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dipisahkan satu dengan lainnya. Pendapat inilah yang sah di kalangan murid-murid beliau seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ 3/460 dan yang dengan jelas dinyatakan dalam kitab Raudhah 1/263.
Ini juga merupakan pendapat Ibnul Daqiqil Ied dalam kitab Talkhis Al-Habir 1/236. Dia dikenal dengan nama Al-Wazir bin Hubairah Al-Hambali dalam kitab Al-Ifshah. Begitu pula yang dikutip oleh Ibnu Rajab dalam kitab Zail Ath-Thabaqat 1/280 dan dalam hal ini menjadi ketetapan.
Ø  Bid’ah Sholawat memakai kata-kata Sayidina dibelakang nama Muhammad dan Ibrahim
Dasarnya :
Kata-kata sayyidina sering kali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun diluar shalat. Hal itu termasuk hal yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi SAW. Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajurimenyatakan:

"Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW) karena yang lebih utama (dengan menggunakan sayyidina itu) adalah cara beradab (bersopan santun pada Nabi SAW)." (Hasyiyah al-Bajuri, juz I hal 156).
Telah tetap tidak ada satupun dalil Sholawat yang memakai akesoris kata-kata sayidina.
14.Salam
Macam-macam Bacaan Salam
Kadang-kadang beliau membaca:

As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh— As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh
atau

As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh— As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
atau

As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi— As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
atau

As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi— As Salamu’alaikum
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan An-Nasa-i)
atau

As Salamu’alaikum dengan sedikit menoleh ke kanan tanpa menoleh ke kiri
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani)

-Wallahu a’lam-