Bismillah

Bismillah
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Rabu, 20 Juni 2012

Bagaimana sih beragama dengan benar??



Tanya Jawab tentang Salafushalih
Tanya :
Apakah  beragama dengan benar itu cukup dengan mengaku  Ahlussunnah wal Jamaah  dankembali kepada Alquran dan Sunnah  ?
Jawab :
Tentu saja tidak malah justru dewasa ini marak pengakuan dari berbagai pihak yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sehingga menyebabkan adanya kerancuan dan kebingungan dalam persepsi banyak orang tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,sehingga ada yang kembali memahami Alquran dengan tafsir sendiri-sendiri dan memahami dengan akal dan otak,memahami hadits memakai akal dan otak dan  takwil-takwil lainnya.
Maka yang paling benar dalam hal ini adalah kembali kepada Alquran dan Sunnah sebagaimana pemahaman para sahabat terdahulu .
Sesuai dengan wasiat Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam dalam sabdanya sbb :
Rasulullah sholat bersama kami sholat Shubuh, kemudian beliau menghadap kepada kami kemudian menasehati kami dengan suatu nasehat yang hati bergetar karenanya dan air mata bercucuran, maka kami berkata : “Yaa Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berwasiatlah kepada kami”. Maka beliau bersabda : “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah.”. Hadits shohih
Tanya :
Kenapa sih memahami Alquran dan Sunnah itu harus dengan Pemahaman Sahabat Rosulullah??
Jawab :
Para sahabat adalah manusia terbaik, karena mereka merupakan murid-murid Rasulullah. Dibandingkan dengan generasi-generasi sesudahnya, mereka lebih memahami Al Qur’an. Mengapa? Karena mereka menghadiri turunnya Al Qur’an, mengetahui sebab-sebab turunnya. Dan mereka, juga bertanya kepada Rasulullah tentang ayat yang sulit mereka fahami.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). [Hadits mutawatir, riwayat Bukhari dan lainnya.”)
Hal ini juga ditegaskan oleh para ulama mazhab  diantaranya :
Imam Abu Hanifah :
“Aku berpegang kepada Kitab Allah. Kemudian apa yang tidak aku dapati (di dalam Kitab Allah, maka aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika aku tidak dapati di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat beliau.Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki. Dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki diantara mereka. Dan aku tidak akan keluar dari perkataan mereka kepada perkataan selain mereka. “
[Riwayat Ibnu Ma’in dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].
Imam Malik bin Anas :
Imam Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa Imam Malik rahimahullah berdalil dengan ayat 100, surat At Taubah, tentang kewajiban mengikuti sahabat
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At Taubah:100].
(I’lamul Muwaqqi’in (2/388), karya Ibnul Qoyyim)
Imam Asy Syafii :
“Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka alasan terputus atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau salah satu dari mereka”
(Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36 dan Manhaj Imam Asy Syafi’i Fi Itsbatil Aqidah (1/129), karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil.)
Imam Ahmad bin Hambal :
“Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah: berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah  berada di atasnya, meneladani mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh bid’ah merupakan kesesatan …”
[Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 57-58].
Tanya :
Trus Apa bedanya donk manhaj salaf dengan organisasi masa yang sekarang ada di Indonesia seperti  Muhammadiyah,PERSIS,NU ??
Perlu difahami terlebih dahulu Salafusholih adalah sebuah manhaj atau cara beribadah  yang merujuk kepada pemahaman para sahabat dalam memahami Alquran dan Hadits sahih.
Ketiga Ormas ini bisa dibilang sebagai Ahlusunnah wal jamaah secara umum karena mereka memakai prinsip-prinsip akidah Islam dengan berpegangan kepada 5 rukun Islam ,6 Rukun Iman,sehingga dalam hal ini ketiga ormas ini disebut Ahlusunnah wal jamaah secara umum.
Adapun dalam pengertian Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau Salaf Sholeh secara khusus, ketiga ormas tersebut belum bisa secara sempurna dimasukkan dalam katagori tersebut, karena ada sebagian manhaj mereka tidak sesuai dengan apa yang dipahami oleh Salaf Sholeh selain mereka mengikuti Partai dalam demokrasi yang jelas-jelas tidak pernah satu pun para sahabat yang mempunyai partai semasa hidupnya. Adapun beberapa perbedaan lainnya seperti :
NU :   walaupun mereka mengaku sebagai Ormas yang memakai Mazhab Asy Syafii dalam hal fiqih akan tetapi ormas Nahdlatul Ulama masih menggunakan  madzhab Asy’ari  di dalam menafsirkan Asma’ dan Sifat Allah ,yang berbeda dengan madzhab Sahabat, atau Ahlus Sunah wal Jama’ah atau Salaf Shaleh, bahkan berbedan dengan Mazhab nya 4 imam (Hanifah,Maliki,Syafii dan Hambali) yaitu tidak mentakwilkan ayat-ayat Asma’ dan Sifat tersebut.
Adapun ormas Muhammadiyah dalam hal ini sama dengan  ormas PERSIS (Persatuan Islam) dalm aqidahnya mereka tidak menakwilakn ayat2 Asma dan Sifat Allah ,hanya saja dari beberapa Ijtihadnya sangat berbeda jauh dengan ijtihad para sahabat.misal :
 Muhammadiyah : Didalam Himpunan Putusan Tarjihnya ormas ini membolehkan adanya peringatan “Maulid Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam” adapun hal ini tidak pernah dilakukan sekalipun oleh para sahabat Radiyallahu anhu,.
PERSIS : Organisasi masa ini mempunyai kemiripan yang hampir sama dalam jalan (manhaj) beragamanya dengan Salafushalih akan tetapi di beberapa bagian mereka memakai kaidah-kaidah  istinbath yang sebenarnya justru bertentangan dengan Salafushalih karena banyaknya penggunaan akal dan logika diantaranya.”bila hadits sahih seolah2 bertentangan dengan Alquran maka hadits sahih itu di mansukh  dan diambil dalil dari Alquran” sehingga akibatnya hukum  emas menjadi makruh,dan hukum sutra juga menjadi makruh dsb.
Dan banyak lagi beberapa perbedaan diantara ormas-ormas tersebut sehingga walaupun dari sebagian mereka menempuh jalan salafushalih tapi di bagian yang lain mereka menyelisihi salafushalih.
Untuk menjadi bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara lebih utuh, atau agar berada di dalam manhaj Salaf Sholeh secara lebih sempurna, maka ormas-ormas tersebut perlu mengadakan kajian-kajian yang lebih intensif dan mendalam khususnya dalam masalah – masalah aqidah, manhaj, maupun fiqh. Wallahu A’alam.
Di kutip dan ditambahkan sedikit dari sumber :
http://abunamira.wordpress.com/2011/08/21/nu-muhammadiyah-dan-persis-apakah-termasuk-salaf-sholeh/



Belanja Buku Saku Islami Praktis

Belanja Buku Saku Praktis

Kami menawarkan buku-buku saku berkualitas dan terdiri dari berbagai judul topik bahasan yang menarik seputar aqidah, muamalat, zakat, fiqih, sirah khulafaurrasyidin dan lainnya. Semoga dapat membantu mengenal dan mendalami islam.



Untuk  pembelian buku, silakan memesan terlebih dahulu melalui SMS/Telp            +62 81912412000 


Format pemesanan melalui SMS/Email  sebagai berikut :: (1) Kode (2) Jumlah buku yang dibeli (3) Nama & Alamat Lengkap untuk pengiriman barang.

Contoh :: “Paket1 # lima (5)# Abu Bakar #Jl. Jagakarsa Gg Banten No 104D Jakarta Selatan

Setelah melakukan pemesanan, diharapkan menunggu konfirmasi dari kami untuk memberikan kepastian keberadaan barang pesanan dan total biaya keseluruhan. Langkah berikutnya silakan melakukan transfer pembayaran melalui ::
Bank BCA
5745 117 934
a/n  Luqmanul Hakim


Jangan melakukan transfer pembayaran sebelum ada konfirmasi dari kami. Jika telah melakukan pembayaran, segera konfirmasi melalui SMS/EMAIL, agar barang segera kami kirim sesuai tujuan.

Catatan ::
* Harga sesuai yang tertera pada gambar
* Harga belum termasuk ongkos kirim
* Ongkos kirim disesuaikan dengan tujuan pengiriman
* Pengiriman menggunakan TIKI JNE

PAKET BUKU SAKU ISLAMI

Dalam Islam ada perkara-perkara penting yang wajib diketahui oleh setiap muslim baik perkara aqidah, ibadah maupun akhlaq. Jika kaum muslimin berhasil mengerjakan kewajiban yang mendasar ini dan menjauhi apa yang dilarang Alloh, niscaya mereka akan mendapatkan kebahagiaan sejati yang mereka idam-idamkan selama ini.
Alloh memerintahka kita untuk berhias dengan akhlaq-akhlaq terpuji. Akhlaq terpuji selain adalah perintah Alloh juga adalah penghias dalam pergaulan kemanusiaan. Dipaket ini diuraikan berbagai jenis aklaq mulia yang seharusnya seorang muslim tidak boleh tidak untuk mengamalkannya
Perbincangan seputar alam jin, malaikat, sihir dan makar tipudaya setan selalu menarik. Dalam paket ini kami sajikan pembahasan seputar iman pada yang ghaib menurut aqidah Islam yang benar.
Wanita dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat mulia. Akan tetapi kemuliaan tersebut terkadang tertutupi oleh tingkah laku mereka yang jauh dari aturan Alloh. Paket ini berisi panduan agar wanita muslimah kembali mendapatan kehormatan dan kemuliaannya dengan jalan menempuh aturan Alloh yang sempurna
Paket ini berisi profil singkat empat shahabat dekat Rasulullah : Abu Bakar, Umar. Utsman, dan Ali. Merekalah pengganti kepemimpinan beliau. Keutamaan, akhlaq dan perjuangan mereka terhidang dengan singkat dan menarik pada paket ini.
Berdzikir adalah termasuk ibadah yang mulia dan berpahala besar. Karena ia adalah suatu peribadahan maka tentu kita harus melakukannya dengan ikhlas dan mengikuti cara Rasululloh SAW dalam berdzikir. Aneka ragam dzikir-dzikir yang shohi kami hadirkan dalam paket menarik ini
Berisi panduan lengkap untuk kaum muslimin dalam memanfaatkan kemuliaan ramadhan. Dan agar ibadah puasa yang dijalankan tidak sekedar menahan lapar dan dahaga
Islam telah mensyariatkan berbagai jenis ibadah kepada hamba-hambanya. Dengan peribadatan tersebut seorang muslim akan mendapatkan kemuliaan dan pahala agung di sisi Alloh. Dapatkan tuntunannya pada paket ini.
Sengsara dan bahagianya seorang manusia di dunia dan akhirat adalah tergantung selamat atau rusaknya aqidah manusia tersebut. Oleh karena penting sekali memberikan perhatian kepada setiap perkara aqidah dengan seksama. Paket ini adalah sebagai panduan dasar bagi sorang muslim yang menghendaki kebahagiaan dunia akhirat
Alloh hanya menurunkan satu agama untuk manusia, yaitu Islam. Dengan Islamlah manusia akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Tapi kita dapati banyak Islam bahkan satu kelompok dengan kelompok lainnya saling berbeda aqidah dan manhaj untuk mengetahui sendi-sendi Islam yang sebenarnya,Sehingga kita bisa istiqomah dalam Islam yang lurus kami hadirkan buku paket ini.
Paket lainnya yang belum semapt diupload ::
Paket 11 : Ensiklopedia Akhirat
Paket 12 : Pendidikan Islami Anak
Paket 13 : Menjauhi Akhlak Tercela
Paket 14 : Dosa – Dosa Besar
Paket 15 : Pernikahan Islami
Paket 16 : Siroh Nabawiyyah (Sejarah Nabi Muhammad SAW)
Paket 17 : Tsaqofah Islamiyyah (Wawasan Keislaman)
Paket 18 : Kisah Para Nabi
Paket 19 : Pengobatan Islami
Paket 20 : Dakwah Islamiyyah
Paket 21 : 1001 Ilmu Islam

Jumat, 15 Juni 2012

Bagaimana cara mengagungkan Sunnah Rosulullah


Definisi Sunnah dan Cara mengagungkan Sunnah Nabi

Sunnah memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Bagaimana tidak? Sunnah adalah penjelas dan penjabar Al Qur’anul Kariim. Sunnah juga merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al Qur’an. Tanpa memahami sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang tidak akan bisa memahami dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar.
Pengertian Sunnah
Sunnah yang dimaksud bukanlah sunnah menurut istilah fikih yang merupakan lawan dari makruh. Dalam fikih, sunnah artinya sebuah amalan yang apabila dilakukan akan mendapatkan pahala, apabila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Akan tetapi sunnah yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik itu ucapan beliau, perbuatan beliau, ataupun ketetapan beliau [atau yang biasa dikenal dengan istilah hadits, ed]. Secara umum, manusia di dalam menyikapi sunnah Nabi terbagi menjadi 3 golongan :
1. Golongan yang Mengagungkan Sunnah Nabi dengan benar
Golongan yang mengagungkan sunnah Nabi dengan benar adalah golongan orang-orang yang mau mempelajari, meneladani, dan mengamalkan sunnah beliau. Orang-orang dari golongan ini sadar bahwa mereka telah bersyahadat : “Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah” (aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah) konsekuensinya mereka harus mengagungkan sunnah Nabi. Mereka menempuh jalan yang benar dalam mengagungkan sunnah Nabi. Jalan yang benar dalam mengagungkan sunnah Nabi adalah dengan mempelajari, meneladani, dan mengamalkan sunnah beliau.
Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mengaku mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau dia tidak melakukannya, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan dianggap hanya mengaku-ngaku saja tanpa bukti nyata. Maka orang yang benar dalam pengakuan kecintaannya kepada (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang terdapat bukti kecintaan tersebut pada dirinya. Bukti kecintaan kepada (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah dengan meneladani beliau, mengamalkan sunnahnya, baik perkataan maupun perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab yang beliau contohkan, dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.” (Asy Syifa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafa, dikutip dari www.muslim.or.id)
Golongan yang pertama ini adalah orang-orang yang faham betul dengan firman-firman Allah (yang artinya): “Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin dan mukminah untuk memiliki pilihan yang lain apabila Allah dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan.” (QS. Al-Ahzab:36). “Barang siapa mentaati Rasul, maka sungguh ia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa:80). “Segala apa yang dibawa Rasul, maka ambillah. Dan segala apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Diantara orang-orang yang termasuk ke dalam golongan ini adalah para sahabat Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam, Anas bin Malik berkata : “Tidak ada seorang pun yang paling dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi jika mereka melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak berdiri untuk menghormati beliau, karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan tersebut.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)
Dari perkataan Anas bin Malik tersebut kita juga bisa mengetahui para sahabat adalah orang yang paling mencintai dan mengagungkan sunnah Nabi. Dan mereka adalah orang yang paling tahu bagaimana cara mengagungkan dan mencintai sunnah Nabi. Maka sepatutnya kita menjadikan cara para sahabat sebagai contoh di dalam kita mengagungkan sunnah Nabi.
2. Golongan yang Mengagungkan Sunnah Nabi dengan Cara yang Salah
Golongan yang kedua ini adalah orang-orang yang tahu bahwasanya mengagungkan sunnah Nabi adalah sebuah kewajiban namun mereka tidak mengetahui cara yang benar di dalam mengagungkan sunnah Nabi. Mereka mengagungkan sunnah Nabi dengan cara-cara yang tidak beliau ajarkan dan bahkan dilarang oleh syariat islam. Mereka membuat acara-acara / perayaan-perayaan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi. Sehingga pada hakikatnya apa yang mereka lakukan bukanlah mengagungkan sunnah beliau.
Diantara contoh perbuatan tidak benar yang dilakukan oleh sebagian orang yang termasuk dalam golongan ini adalah dengan melakukan perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Niat mereka memang baik, yaitu bertujuan mengagungkan Nabi dan sunnahnya. Akan tetapi caranya tidak benar, karena tidak ada tuntunannya. Seandainya perayaan tersebut baik, pasti para sahabat telah melakukannya karena para sahabatlah orang yang paling mencintai dan mengagungkan beliau dan sunnahnya. Sedangkan para sahabat tidak pernah melakukan acara / perayaan maulid nabi tersebut.
Contoh salah yang lain dalam mengagungkan sunnah beliau adalah dengan memuji dan mensifati beliau secara berlebihan, dengan menganggap beliau memiliki kemampuan tertentu yang sebenarnya Allah tidak memberikan kemampuan tersebut kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang Nashrani melampaui batas dalam memuji Nabi Isa bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah : (Muhammad) hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhori)
3. Golongan yang Meremehkan Sunnah Nabi
Golongan ketiga adalah orang-orang yang meremehkan dan mengejek sunnah Nabi. Mereka menolak dan tidak mau beramal dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan mengejek sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengejek orang-orang yang mengamalkannya. Inilah golongan yang paling jelek. Banyak sekali kita temui orang-orang yang tidak mau beramal dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, minum sambil duduk misalnya, padahal minum sambil duduk adalah sunnah Nabi, bahkan beliau melarang kita minum sambil berdiri. Orang yang tidak setuju mengatakan, ketinggalan jaman, masak minum saja harus sambil duduk. Ada juga orang mengejek sunnah Nabi dengan mengejek orang-orang yang mengamalkannya. Misalnya, orang-orang yang memelihara jenggot diejek seperti kambing, lelaki yang memakai pakaian yang tidak menutupi mata kaki diejek kebanjiran, dan ejekan-ejekan lainnya yang pada hakikatnya adalah mengejek sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Abdillah Muhammad bin Ismalil At-Taimy juga bercerita : “Aku pernah membaca dalam sebagian kisah, bahwa pernah ada seorang ahlul bid’ah tatkala mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabilah salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga ia mencucinya terlebih dahulu, karena dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam.”
Maka ahli bid’ah tersebut berkata dengan nada mengejek : “Aku mengetahui di mana tanganku bermalam, yaitu di atas tempat tidur !!” Pada suatu pagi, didapati orang tersebut bangun tidur dalam keadaan tangannya telah masuk ke dalam duburnya sampai ke pergelangan tanganya (Ta’zhimus sunnah, karya Abdul Qoyyum As-Suhaibani). Inilah sebagian hukuman yang diberikan oleh Allah secara langsung kepada orang yang mengejek dan meremehkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penutup
Itulah tiga golongan manusia dalam menyikapi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara tiga golongan tersebut tentunya sikap yang benar adalah sikap yang pertama, yaitu golongan yang mengagungkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang benar. Wajib mengagungkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena hal tersebut merupakan konsekuensi yang harus kita tunaikan ketika telah mengucapkan syahadat “Asyhadu anna muhammadar rasulullah” (Aku bersaksi bahwasanya muhammad adalah utusan Allah).
Jika kita tidak mengagungkan sunnah Nabi maka syahadat kita tidak sempurna, sehingga mengagungkan sunnah Nabi hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim. Dengan cara yang benar maksudnya adalah harus sesuai dengan aturan syariat islam dan meneladani apa yang dilakukan oleh para sahabat. Para sahabat Nabi adalah orang-orang yang paling mencintai dan mengagungkan sunnah Nabi, sehingga sepatutnya kita mengikuti jalan mereka dalam mengagungkan sunnah Nabi.
Adapun golongan kedua mereka mengagungkan sunnah nabi dengan cara yang tidak benar, dengan cara yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sikap tersebut tentunya terlarang karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa beramal dengan sebuah amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR Muslim). Sedangkan golongan ketiga yang tidak mau mengagungkan sunnah Nabi dan mengejek sunnah beliau, maka sikap tersebut dilarang keras dalam Islam, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, dia bukanlah termasuk golonganku” (HR Bukhori dan Muslim).
Demikian pembahasan yang singkat ini. Semoga kita diberi kemudahan oleh Allah untuk bisa mengagungkan sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang benar, sebagaimana cara yang pernah ditempuh oleh para sahabat radhiyallahu’anhum ajma’in. [Muhammad Rezki Hr*]
* Penulis adalah mahasiswa UGM, menjadi pengurus program bahasa arab Ma’had Umar Bin Khattab dan ikut membantu ketakmiran di salah satu masjid di Pogung.

http://buletin.muslim.or.id/manhaj/mengagungkan-sunnah-nabi

Siapa dan apa itu Ahlusunnah wal jamaah



 Siapa dan Apa itu Ahlusunnah Wal Jamaah??


Makna Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
 
Kata “Ahlussunnah” terdiri dari dua suku kata yaitu ’ahlu’ yang berarti keluarga, pemilik, pelaku atau seorang yang menguasai suatu permasalahan, dan kata ’sunnah’. Namun bukanlah yang dimaksud di sini sunnah dalam ilmu fiqih, yaitu perbuatan yang mendapat pahala jika dilakukan, dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Akan tetapi sunnah adalah apa yang datang dari Nabi baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang bathin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiamat. Dengan demikian definisi Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sunnah para shahabatnya. Sehingga Imam Ibnul Jauzi berkata,” Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar (sunnah) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya adalah Ahlus Sunnah” (Lihat Talbisul Iblis hal. 16)
Sedangkan kata ”Al Jama’ah” artinya bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak mengambil teladan kecuali dari para sahabat, tabiin dan ulama–ulama yang mengamalkan sunnah sampai hari kiamat. Karena merekalah orang-orang yang paling memahami agama yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa Al Jama’ah adalah orang-orang yang berada di atas kebenaran, bukan pada jumlahnya. Jumlah yang banyak tidak menjadi patokan kebenaran, bahkan Allah Ta’ala berfirman yang artinya: ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” [Al An’am: 116]. Sehingga benarlah apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu: “Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian” (Syarah Usuhul I’tiqaad Al Laalika-i no. 160).
Ringkasnya, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya, dan dalam memahami dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tersebut mereka meneladani praktek dan pemahaman para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka. Dan makna ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tentang satu golongan yang selamat pada hadits di atas: ”yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku dihari ini”.
Pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Mungkin setelah dijelaskan makna Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sebagian orang masih rancu tentang siapakah sebenarnya mereka itu. Karena semua muslim, dari yang paling ’alim hingga yang paling awamnya, dari yang benar hingga yang paling menyimpang akan mengaku bahwa ia berjalan di atas jalannya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Maka dalam kitab Ushul Aqidah Ahlis Sunnah, Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dapat dikenal dengan dua indikator umum:
  1. Ahlus Sunnah berpegang teguh terhadap sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, berbeda dengan golongan lain yang beragama dengan berdasar pada akal, perasaan, hawa nafsu, taqlid buta atau ikut-ikutan saja.
  2. Ahlus Sunnah mencintai Al Jama’ah, yaitu persatuan ummat di atas kebenaran serta membenci perpecahan dan semangat kekelompokan (hizbiyyah). Berbeda dengan golongan lain yang gemar berkelompok-kelompok, membawa bendera-bendera hizbiyyah dan bangga dengan label-label kelompoknya.
Perlu diketahui juga bahwa istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah muncul untuk membedakan ajaran Islam yang masih murni dan lurus dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan ajaran Islam yang sudah tercampur dengan pemikiran-pemikiran menyimpang seperti pemikiran Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij. Sehingga orang-orang yang masih berpegang teguh pada ajaran Islam yang masih murni tersebut dinamakan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Imam Malik rahimahullah pernah ditanya : “Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab: Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqb (julukan) yang sudah terkenal. Yakni bukan Jahmiyah, bukan Qadariyah, dan bukan pula Syi’ah”. (Lihat Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr).
Walaupun pada kenyataannya orang-orang yang berpemikiran menyimpang tersebut, seperti Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij juga sebagian mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Sehingga hal ini memicu para Imam Ahlus Sunnah untuk menjelaskan poin-poin pemahaman Ahlus Sunnah, agar umat dapat menyaring pemahaman-pemahaman yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah. Salah satunya dari Imam Ahlus Sunnah yang merinci poin-poin tersebut adalah Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam kitabnya Ushul As Sunnah. Secara ringkas, poin-poin yang dijelaskan Imam Ahmad tentang pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah diantaranya adalah:
  • Beriman kepada takdir Allah,
  • Beriman bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah (perkataan Allah), bukan makhluk dan bukan perkataan makhluk,
  • Beriman tentang adanya mizan (timbangan) di hari Kiamat, yang akan menimbang amal manusia,
  • Beriman bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla akan berbicara dengan hamba-Nya di hari Kiamat,
  • Beriman tentang adanya adzab kubur dan adanya pertanyaan malaikat di dalam kubur,
  • Beriman tentang adanya syafa’at Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bagi ummat beliau
  • Beriman bahwa Dajjal akan muncul,
  • Beriman bahwa iman seseorang itu tidak hanya keyakinan namun juga mencakup perkataan dan perbuatan, dan iman bisa naik dan turun,
  • Beriman bahwa orang yang meninggalkan shalat dapat terjerumus dalam kekufuran,
  • Patuh dan taat pada penguasa yang muslim, baik shalih mau fajir (banyak bermaksiat). Selama ia masih menjalankan shalat dan kepatuhan hanya pada hal yang tidak melanggar syariat saja,
  • Tidak memberontak kepada penguasa muslim,
  • Beriman bahwa tidak boleh menetapkan seorang muslim pasti masuk surga atau pasti masuk neraka,
  • Beriman bahwa seorang muslim yang mati dalam keadaan melakukan dosa tetap disholatkan, baik dosanya kecil atau besar.
Jangan salah membatasi
Imam Al Barbahari berkata: ”Ketahuilah bahwa ajaran Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu adalah Islam” (Lihat Syarhus Sunnah, no 2). Maka pada hakikatnya pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah Islam itu sendiri dan ajaran Islam yang hakiki adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Maka Ahlus Sunnah adalah setiap orang Islam dimana saja berada yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabatnya. Jika demikian, sungguh keliru sebagian orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan batas-batas yang serampangan.
Telah keliru orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan suatu kelompok atau organisasi tertentu, seperti perkataan: ’Ahlus Sunnah adalah NU’ atau ’Ahlus Sunnah adalah Muhammadiyah’. Telah salah orang yang membatasi Ahlus Sunnah dengan majlis ta’lim atau ustadz tertentu dengan berkata: ’Ahlus Sunnah adalah yang mengaji di masjid A’ atau ’Ahlus Sunnah adalah yang mengaji dengan ustadz B’. Keliru pula orang yang membatasi dengan penampilan tertentu, misalnya dengan berkata ’Ahlus Sunnah adalah yang memakai gamis, celana ngatung dan berjenggot lebat. Yang tidak demikian bukan Ahlus Sunnah’. Tidak benar pula membatasi Ahlus Sunnah dengan fiqih misalnya dengan berkata ’Yang shalat shubuh pakai Qunut bukan Ahlus Sunnah’ atau ’Orang yang shalatnya memakai sutrah (pembatas) dia Ahlus Sunnah, yang tidak pakai bukan Ahlus Sunnah’. Dan banyak lagi kesalah-pahaman tentang Ahlus Sunnah di tengah masyarakat sehingga istilah Ahlus Sunnah mereka tempelkan pada kelompok-kelompok mereka untuk mengunggulkan kelompoknya dan berfanatik buta terhadap kelompoknya.
Adapun Ahlus Sunnah yang sejati tidak sibuk dengan label dan pengakuan, serta benci dengan semangat kekelompokkan. Sebagaimana perkataan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah tentang Ahlus Sunnah: ”Sesuatu yang tidak mempunyai nama kecuali Ahlus Sunnah” (Lihat Madarijus Salikin III/174). Bahkan seorang Ahlus Sunnah menyibukkan diri dengan menerapkan sunnah dalam setiap aspek kehidupannya. Dan tidak ada gunanya seseorang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, sementara ia sibuk dengan melakukan bid’ah dan hal-hal yang bertentangan dengan sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya ”Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” [An Najm: 30].
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat. [Yulian Purnama]

 http://buletin.muslim.or.id/manhaj/siapakah-ahlus-sunnah-wal-jama%E2%80%99ah

Definisi dasar tentang Hadits,Khabar dan Atsar



SUNNAH, HADITS, KHABAR DAN ATSAR
 
Pendahuluan
           Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. "Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus".
           Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.
           Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits, misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin 'Amr bin al-'As (w.65 H/685 M), Abdullah bin 'Abbas (w.68 H/687 M), 'Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H). Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut.
            Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadits bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma'na), sedang redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.
          Dengan demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadits-nya, dan menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur'an. Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.
          Pada realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan hadits Nabi secara kuantitatif cukup banyak sekali, walaupun Fazlur Rahman mengatakan "hadits-hadits Nabi memang sedikit jumlahnya". Selain perkembangan hadits yang cukup banyak, juga banyak istilah-istilah yang digunakan. Pada masyarakat umum yang dikenal adalah Hadits dan as-Sunnah, sedangkan pada kelompok tertentu, dikenal istilah Khabar dan Atsar. Untuk itu, pada pembahasan makalah ini, pemakalah akan menyoroti : (1) pengertian Hadits, dan perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar, (2) perbedaan as-Sunnah dengan Bid'ah, (3) cara penyampaian Hadits pada masa Nabi.
B. Pengertian Hadits dan Perbedaanya dengan As-Sunnah, al-Khabar dan Al-
Atsar

          Dalam pembahasan ini pemakalah akan lebih mencermati pengertian Hadits, as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar serta perbedaan-perbedaan para ulama baik ulama Hadits, ulama Ushul, dan ulama Fiqh dalam merumuskan masing-masing definis tersebut di atas. Selain itu juga mengungkapkan perbedaan antara Hadits dengan as-Sunnah, Hadits dengan al-Khabar dan al-Atsar.
1. Pengertian Hadits
           Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis.  Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam  memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah :  "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
            Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut : "Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
           Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah


hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.

         Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
          Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.
2. Pengertian as-Sunnah
          Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelak". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
           Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
"Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat" (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).
          Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.
          Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara', maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara' disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Qur'an dan Hadits.
            Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut :
"Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya".
              Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
            Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :
"Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya"
(H.R.Malik).

            Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".
              Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad SAW., sebagai Musyarri', artinya pembuat undang-undang wetgever di samping Allah. Firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
"Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa
yang dilarang oleh Rasul jauhilah".

           Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah "perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut
apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.

3. Pengertian al-Khabar dan al-Atsar
a) Pengertian Khabar
              Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar. Khabar menurut lughat, berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadits. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadits sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu'. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadits. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah 'umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits.
          Menurut istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabi'in. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
b) Pengertian Atsar
            Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do'a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do'a ma'tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. "Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.
4. Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar
           Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
          Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
(a) Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
(b) Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. "Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar".
(c) Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in. "Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)". Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in.



C. Perbedaan As-Sunnah dengan Bid'ah

             Pembahasan ini semata-mata hanya menekankan pada sisi perbedaan antara hadits dengan bid'ah, tidak membahas macam-macam bid'ah dan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik pada sisi hukum syara' maupun muamalah. Bid'ah, menurut bahasa memiliki beberapa makna, yaitu; penemuan terbaru, sesuatu yang sangat indah, dan lelah. Sedang menurut pengertian agama, adalah :
"Apapun yang terjadi setelah Rasulullah wafat berupa kebaikan atau sebaliknya, dan tidak mempunyai dalil syarak yang jelas". Imam Syatibi, dalam kitabnya al-'Atisham, mengartikan bid'ah itu dalam bahasa sebagai penemuan terbaru. Dengan demikian, "bid'ah suatu pekerjaan yang belum ada contohnya, dinamailah pekerjaan-pekerjaan yang diada-adakan dalam Agama dan dipandang indah oleh yang mengadakannya, bid'ah.

         Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh dua golongan yang berlaian pendapat. Yang pertama adalah golongan ahli Ushul : pendapat pertama, yaitu golongan yang memasukkan segala urusan yang diada-adakan dalam soal ibadat saja ke dalam bid'ah. Pendapat kedua, golongan yang memasukkan dalam kata bid'ah segala urusan yang sengaja diada-adakan, baik dalam urusan 'Ibadah, maupun dalam urusan 'Adat. Sedangkan kedua, adalah golongan Ahli Fuqaha, mempunyai dua pendapat. Perdapat pertama yang memandang bid'ah ; segala perbuatan yang tercela saja, yang menyalahi kitab, atu Sunnah, atau Ijma. Pendapat yang kedua, memandang bid'ah segala yang diada-adakan sesudah Nabi, baik kebajikan maupun kejahatan, baik ibadah maupun adat (urusan keduniaan).

           Golongan Fuqaha yang hanya memandang bid'ah segala perbuatan yang tercela saja yang menyalahi Kitab, atau Sunnah, atau Ijma', mendefinisikan Bid'ah sebagai berikut : "Bid'ah itu, perbuatan yang tercela, yaitu ; yang diada-adakan serta menyalahi Kitab, atau Sunnah, atau Ijma': inilah yang tidak diizinkan Syara' sama sekali, baik perkataan, ataupun perbuatan, baik secara tegas maupun secara isyarat saja ; dan tidak masuk ke dalamnya urusan-urusan kedunian. Sedangkan golongan Fuqaha yang memandang bid'ah yang terjadi sesudah Nabi, mendefinisikan bid'ah sebagai berikut : "Bid'ah itu, ialah : Segala yang diadakan-adakan sesudah Nabi (sesudah kurun yang diakui baiknya), baik yang diadakan itu kebajikan, maupun kejahatan, baik mengenai ibadah maupun menengnai adat (yakni yang dengannya dikehendaki maksud duniawi).

         Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa Bid'ah segala sesuatu yang diada-adakan sesudah Nabi wafat, untuk dijadikan syara' dan Agama, pada hal yang diada-adakan itu tak ada dalam Agama; diada-adakan itu pula sesuatu syubuhat (yang menyamarkan), atau karena sesuatu ta'wil. Sedangkan Sunnah, segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Dengan kata lain sesuatu yang hanya bersumber atau disandarkan kepada Nabi semata-mata.

              Dengan demikian antara Sunnah dan Bid'ah terdapat perbedaan yang sangat jelas sekali. Sunnah, sesuatu yang betul-betul bersumber atau sesuatu yang disandarkan kepada Nabi semata-mata, sedangkan Bid'ah merupakan sesuatu yang diada-adakan ahli atau seseorang yang tidak mempunyai dalil yang jelas. Walaupun dalam pembagian Bid'ah ada bid'ah Hahmudah dan bid'ah Mazmumah atau ada bid'ah Hasanah dan bid'ah Sayyiah. Ada yang membagi bid'ah wajib, bid'ah Sunnah, bid'ah Mubah, bid'ah Haram, dan bid'ah Makruh, tetapi perbedaan antara Sunnah dengan Bid'ah sangat jelas yaitu Sunnah sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi, sedangkan Bid'ah sesuatu yang diada-adakan setelah Nabi. Maka, KH.Moenawar Chalil mengatakan, bahwa "kita (ummat Islam) dalam mengerjakan agamanya haruslah mengikuti Sunnah Nabi dan menjauhi perbuatan-perbutan bid'ah dengan arti kata yang sebenarnya".

D. Cara Penyampaian Hadits pada Masa Nabi
              Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para isteri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
            Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan mentaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.
         Sebagai seorang Nabi tentu memiliki teknik atau cara-cara untuk mencontohkan perilaku dan menyampaikan sesuatu kepada para sahabatnya. Untuk itu, "menurut riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW menyampaikan haditsnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya".
         Ada beberapa teknik atau cara Rasul SAW dalam menyampaikan Hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Untuk itu, teknik atau cara yang digunakan Nabi SAW dalam menyampaikan Hadits, sebagai berikut :
           (a) Melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-'Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
          (b) Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti Hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin al-'Ash. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui isteri-isterinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan melalui isteri-isterinya.

         (c) Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan
fathu Makkah.
         (d) Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musya'hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.



           (e) Para sahabat yang mengemukana masalah atau bertanya dan berdiolog langsung kepada Nabi SAW.

             Melihat kenyataan ini, umat Islam pada saat itu secara langsung memperoleh Hadits dari Rasul SAW sebagai sumber Hadits, baik itu berupa perkataan, perbuatan dan taqrir. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka. Para sahabat menerima Hadits dari Rasul SAW adakalanya langsung dari beliau sendiri, mereka langsung mendengar atau melihat contoh perilaku yang dilakukan Nabi SAW, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang kepada Nabi lalu Nabi menjawabnya, atau karena Nabi sendiri yang memulai pembicaan tentang suatu persoalan. Indah sekali, betapa bahagia dan indahnya umat pada saat itu.


Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, sebagai berikut :
         Menurut Jumhur Ulama (ulama Hadits, Ulama Ushul, dan Ulama Fiqh) berpendapat istilah Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar, dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu : Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
         Perbedaan Sunnah dengan Bid'ah dilihat dari segi pengertian maka, Sunnah merupakan sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi SAW saja, sedangkan Bid'ah adalah sesuatu yang diada-adakan yang tidak memiliki dasar hukum.
DAFTAR PUSTAKA
          Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, terj. Anar Mahyuddin, Membuka
Pintu Ijtihad
, Pustaka, Bandung, 1995.

         Masjfuh Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Bina Ilmu, Surabaya, 1993 

         M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Bulan Bintang, Jakarta,
1992.


          Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Qur'an dan as-Sunnah, Bulan Bintang,
Jakarta, Cet, Kesepuluh, 1996.


          Sukarnawadi H.Husnuddu'at, Meluruskan Bid'ah, Dunia Ilmu, Surabaya, 1996.

          Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
Pustaka Rizki Putra, Semarang, Cet. Kedua, 1998.


           Kriteria antara Sunnah dan Bid'ah, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. Kelima, 1978.

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996.

         Zulkarnain S, Makalah, Hadits Pada Masa Rasulullah SAW, Makalah disampaikan dalam Seminar kelas, pada Mata Kuliah Ulumul Hadits, Pasca Sarjana IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, 24 April 1998.

         MAKALAH REVISI,  HADITS PADA MASA NABI  Kajian  Hadits dan Perbedaannya dengan as-Sunnah, al-Khabar, Atsar,  HUJAIR AH. SANAKY   PROGRAM PASCA SARJANA (S-2) MAGISTER STUDI ISLAM  UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


Mengetahui arti ilmu Fiqih,Aqidah,Tauhid,Tajwid dan Ahlak



 PENDIDIKAN DASAR AGAMA ISLAM.
Berikut adalah pengertian dari beberapa cabang ilmu dalam mempelajari agama Islam.
Ilmu Fiqih

Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”.


Ilmu Aqidah
Ilmu Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti dan wajib dimiliki oleh setiap manusia.

Ilmu Akhlak
Ilmu Akhlak adalah ilmu yangmengajarkan manusia untuk dapat berperangai,berbudi pekerti,tingkah laku dan tabiat.

Ilmu Ibadah
Ilmu ibadah adalah sambungan dari pada ilmu ahlak dimana semuanya membahas tentang tingkah laku serta cara-cara kita untuk beribadah kepada Tuhan (pencipta kita) sesuai dengan Aqidah yang kita yakini.

Ilmu Tajwid
Ilmu Tajwid adalah ilmu yang membahas tentang tata cara dan bagaimana cara kita membaca Al’Quran (Ejaan-ejaan dll)dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Sunnah Rasulullah Saw.
Ilmu Tauhid
 ilmu Tauhid yakni ilmu yang mempelajari dan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan keimanan terutama yang menyangkut masalah ke-Maha Esa-an Allah.
Hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah sampai ia betul-betul memiliki keyakinan dan kepuasan hati serta akal bahwa ia berada di atas agama yang benar. Sedangkan mempelajari lebih dari itu hukumnya fardhu kifayah, artinya jika telah ada yang mengetahui, yang lain tidak berdosa. Allah swt berfirman:
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah. (47:19).
Macam-Macam Tauhid
Tauhid, adalah konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah.
Tauhid dibagi menjadi 3 macam yakni tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa Sifat. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik merupakan konsekuensi dari kalimat sahadat yang telah diikrarkan oleh seorang muslim.
Rububiyah
Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat serta menjaga seluruh Alam Semesta. Sebagaimana terdapat dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 62 :”Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu”. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka sendiri. Hal ini sebagaimana firman Alloh “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).“ (Ath-Thur: 35-36)
Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi Rosululloh mengakui dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman Alloh, “Katakanlah: ‘Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Alloh.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Alloh.’ Katakanlah: ‘Maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (Al-Mu’minun: 86-89).
Uluhiyah/Ibadah
Beriman bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bangiNya. “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana” (Al Imran : 18). Beriman terhadap uluhiyah Allah merupakan konsekuensi dari keimanan terhadap rububiyahNya. Mengesakan Alloh dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti shalat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya. Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Alloh semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rosul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Alloh mengenai perkataan mereka itu “Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu Sesembahan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5). Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Alloh semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Alloh dan Rosul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Alloh adalah satu-satunya Pencipta alam semesta.
Asma wa Sifat
Beriman bahwa Allah memiliki nama dan sifat baik (asma’ul husna) yang sesuai dengan keagunganNya. Umat Islam mengenal 99 asma’ul husna yang merupakan nama sekaligus sifat Allah.
Tidak ada Tauhid Mulkiyah
Tauhid itu ada tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah Azza wa Jalla, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah semata. Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40. [Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas]
Al-Quran adalah Kitab Tauhid Terbesar
Sesungguhnya pembahasan utama Al-Quran adalah tauhid. Kita tidak akan menemukan satu halaman pun yang tidak mengandung ajakan untuk beriman kepada Allah, rasul-Nya, atau hari akhir, malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, atau taqdir yang diberlakukan bagi alam semesta ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ayat Al-Quran yang diturunkan sebelum hijrah (ayat-ayat Makkiyyah) berisi tauhid dan yang terkait dengan tauhid.
Karena itu tak heran masalah tauhid menjadi perhatian kaum muslimin sejak dulu, sebagaimana masalah ini menjadi perhatian Al-Quran. Bahkan, tema tauhid adalah tema utama dakwah mereka. Umat Islam sejak dahulu berdakwah mengajak orang kepada agama Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Mereka mendakwahkan bukti-bukti kebenaran akidah Islam agar manusia mau beriman kepada akidah yang lurus ini.
Bagi seorang muslim, akidah adalah segala-galanya. Tatkala umat Islam mengabaikan akidah mereka yang benar -yang harus mereka pelajari melalui ilmu tauhid yang didasari oleh bukti-bukti dan dalil yang kuat– mulailah kelemahan masuk ke dalam keyakinan sebagian besar kaum muslimin. Kelemahan akidah akan berakibat pada amal dan produktivitas mereka. Dengan semakin luasnya kerusakan itu, maka orang-orang yang memusuhi Islam akan mudah mengalahkan mereka. Menjajah negeri mereka dan menghinakan mereka di negeri mereka sendiri.
Sejarah membuktikan bahwa umat Islam generasi awal sangat memperhatikan tauhid sehingga mereka mulia dan memimpin dunia. Sejarah juga mengajarkan kepada kita, ketika umat Islam mengabaikannnya akidah, mereka menjadi lemah. Kelemahan perilaku dan amal umat Islam telah memberi kesempatan orang-orang kafir untuk menjajah negeri dan tanah air umat Islam.
Bidang Pembahasan Ilmu Tauhid
Ilmu tauhid membahas enam hal, yaitu:
1. Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-Nya tanpa sekutu apapun bentuknya.
2. Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi, mengetahui sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan amanah, mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan khianat, mengetahui mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan mereka, khususnya mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw.
3. Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang panjang.
4. Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan mereka dengan manusia di dunia dan akhirat.
5. Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai balasan bagi orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir (neraka).
6. Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur dengan takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini.
Allah swt berfirman:
 “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (Al-Baqarah: 285)
Rasulullah saw. ditanya tentang iman, beliau menjawab,
 “Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim).